Sang Penari

Blue Sky
Chapter #2

Sepasang yang Tak Biasa

Khaira tak menjawab langsung pertanyaan dari Rangga. Netra dengan iris legamnya masih dipenuhi binar kebahagiaan seraya menatap ponselnya. Rangga dapat melihat bila istrinya itu seolah tengah membaca suatu hal yang penting, sehingga dia pun memutuskan untuk menunggu jawaban dari Khaira.

 “Aku mendapatkan pekerjaan, Sayang. Aku mendapatkannya,” ucapnya dengan nada penuh keriangan dan tiba-tiba tubuh Khaira yang berhambur mendekap Rangga yang duduk di kursi roda.

Khaira tak bisa menutupi bagaimana kebahagiaan yang menghampirinya itu. Beberapa saat lalu, dia kebingungan mencari pekerjaan. Dia hanya mengajar tari di sanggar, tetapi alih-alih uangnya cukup, dia bahkan harus merelakan tabungannya untuk menambal kekuarangan kebutuhannya. Alhasil, seminggu yang lalu dia melamar pekerjaan sebagai guru tari privat dan ternyata lamarannya diterima.

Tidak hanya Khaira yang berbahagia atas kabar tersebut, Rangga pun ikut berbahagia. 

“Aku ikut bahagia, Sayang. Kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.” Rangga mengecup pelan surai istrinya yang masih mendekapnya erat itu.

“Terima kasih, Sayang. Besok aku sudah mulai mengajar menari. Aku harap, semuanya akan berjalan dengan baik,” harap-harapnya dengan cemas. Tak dapat dipungkiri lagi bila Khaira baru pertama kali mengajar menari secara privat. Jadi siapa juga yang tidak gugup? Dia takut bila, tarian yang akan diajarkannya besok tidak sesuai dengan keinginan orang tua anak yang akan diajarkannya tersebut.

“Semuanya akan baik-baik saja, Sayang. Percayalah!”

Kini giliran Rangga yang mendukung Khaira, agar wanitanya itu dapat percaya diri atas hal yang akan dilakukannya. 

“Terima kasih, Sayang. Kita harus merayakan diterimanya aku bekerja. Aku akan memasak yang spesial untuk kita berdua,” ungkap Khaira mengembangkan senyumnya. Dia lantas mendorong kursi roda Rangga keluar dari area ballroom rumahnya.

Rangga mendengar tuturan istrinya itu pun hanya terkekeh kecil. Dia hanya mengiayakan bila Khaira akan memasak makanan yang spesial atas diterimanya bekerja sebagai guru tari. Tetapi Rangga begitu bahagia jika Khaira juga bahagia, itulah prinsip Rangga. Bahkan kini Rangga dapat mendengar jelas istrinya itu bersenandung kecil ketika bersiap untuk membeli bahan makanan. Setiap gerak-gerik Khaira menjadi jawaban seberapa bahagianya wanita itu, apalagi dengan mendapatkan pekerjaan di tengah turunnya ekonomi rumah tangga benar-benar seperti anugerah terbesar.

“Aku pergi ke supermarket dulu, Sayang. Aku akan secepatnya kembali,” ucapnya seraya mengaitkan tali coat berwanra coksu yang dia pakai.

“Hati-hati, Sayang.” Rangga melihat punggung istrinya yang kian menjauh keluar dari teras rumahnya. Ada desir rasa bersalah ketika dirinya membiarkan istrinya terus melakukan semuanya seorang diri. Dia membiarkan istrinya menari seorang diri, dia membiarkan istrinya menjadi tulang pungung, dia membiarkan istrinya berbelaja sendiri. Astaga begitu pedih hati Rangga mengetahui kenyataan tersebut, dia seperti mau tak mau memakan pil pahit kehidupan yang dijejalkan ke mulutnya tanpa ampun.

Tapi mau bagaimana lagi? Keadaanlah yang membuat Rangga harus duduk di kursi roda, keadaanlah yang memaksanya harus membuat istrinya melakukan semuanya seorang diri. Bagaimanapun juga, takdir sudah berbicara dan dia tak bisa menentangnya.

Meski berkali-kali dia protes atas apa yang menimpanya, dia berkali-kali ingin segera sembuh, tetapi dia hanya manusia biasa dia bukan Dewa, bukan Tuhan, dia juga bukan Allah yang sekali kun fayakun ‘jadilah!’ Kemudian dia dapat sembuh dari kelumpuhan. Tidak, tidak semudah itu. Dia sudah dinyatakan lumpuh total, jika dapat melakukan pengobatan pun memakan biaya yang tak murah. Alhasil, mau tak mau dia menerima semuanya, menerima kakinya lumpuh, meski dunia Rangga menjadi dunia terbalik karena Khairalah yang menjadi tulang punggung baginya.

***

Kharia memasukan tangannya ke dalam coat coksunya. Udara semakin dingin hari demi hari apalagi musim penghujan, hal tersebut membuatnya selalu memakai coat tebal ketika keluar rumah. Tetapi hujan dan hawa dingin sama sekali tidak mengindahkannya ketika dia hendak keluar rumah. Khaira, wanita penyuka tarian itu malah menyukai hawa dingin dan hujan, meski hawa dinginnya membuatnya harus mengeratkan coat yang menyelimuti tubuhnya dan membalutnya dalam kehangatan.

Lihat selengkapnya