Berkali-kali wanita bernama lengkap Khaira Sasmita Cendana itu menatap pantulan dirinya di depan cermin, melihat apakah ada yang kurang dari dirinya ataukah tidak, melihat sudah pantas atau belumkah penampilannya.
Rangga Adiwijaya, suaminya yang melihat sang istri tampak sibuk menatap pantulan diri di cermin itu hanya bisa menggeleng pelan. Dia tak percaya bila Khaira begitu bergairah untuk kali pertama bekerja.
“Kamu sudah cantik, Sayang.”
Suara Rangga memecah keheningan Khaira yang menatapi pantulannya sendiri di depan cermin. Sejenak wanita itu mengembangkan senyumnya kepada sang suami. “Aku hanya takut bila pakaianku tidak tepat, Sayang.”
“Tidak perlu mengkhawatirkan pakaianmu. Kamu akan pergi bekerja, bukan berkencan," celetuk Rangga yang seketika dibalas kekehan lepas oleh Khaira. Khaira lantas duduk berjongkok di depan sang suami yang duduk di kursi roda itu.
"Kamu nanti juga akan berganti baju ketika mengajarkan menari, Sayang," imbuh Rangga seraya menangkup pipi istrinya. Laki-laki itu berusaha membuat Khaira tak kahwatir dengan penampilannya.
“Jadi, kamu tidak perlu khawatir lagi, Sayang. Mengerti?”
Khaira mengangguk perlahan setelah mendengar suport dari Rangga. "Kamu benar, Sayang. Aku terlalu merisaukan penampilkanku karena ini pertama kalinya akan mengajar secara privat." Khaira terkekeh sejenak sembari menepuk keningnya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Itu wajar. Sekarang pergilah bekerja, aku akan menunggu di rumah.” Rangga kemudian membubuhkan kecupan mesra di kening istrinya diimbangi senyum merekah milik Khaira.
“Baiklah, kalau begitu aku pergi, Sayang.” Khaira berlenggang usai memberikan satu kecupan manis di bibir Rangga.
Rangga masih berada di teras rumahnya ketika mobil Khaira sudah melaju keluar pelataran. Senyum di bibir Rangga masih terpatri dengan baik mengiringi kepergian mobil sang istri, diiringi gumaman lirih “hati-hati” dari Rangga yang sudah tidak didengar oleh Khaira.
Setelah beberapa saat kepergian mobil hitam milik Khaira, Rangga masih termangu di teras. Bibirnya yang semula terpatri senyuman, manik legamnya yang semula memancarkan binar bahagia, sirna begitu saja dan berubah menjadi sebuah kesenduan. Kesenduan seorang laki-laki di kursi roda, yang selalu menganggap dirinya tak berguna. Selalu saja seperti itu, dia merasa tak berguna bagi istrinya, dia selalu saja menyalahkan dirinya tentang harusnya dia juga mencari pekerjaan, harusnya dia juga yang mencari uang, bukan hanya membebankan semuanya kepada Khaira.
“Aku tidak berguna,” rutuk Rangga dengan rasa sesak yang menggebu di dadanya.
****
TING…TONG…
Bel rumah bergaya Eropa klasik dengan setelan warna putih berbunyi Khaira yang memecet tombolnya. Khaira tiba di alamat tempat mengajar tari setelah mengemudikan mobilnya beberapa saat.
Bel sudah berbunyi beberapa detik lalu. Namun, Khaira tak kunjung mendengar derap kaki yang berada di balik pintu. ‘Apakah tidak ada orang? Apakah semua orang bekerja?’ batinnya.
Sembari menunggu pintu terbuka, Khaira bahkan sesekali dia merapikan pakaiannya. Rok navi selutut, kemeja lengan pendek dengan balutan coat hitam, juga flat shoes hitam sangat pas menampilkan keanggunan sederhana Khaira Samita Cendana, wanita berusia lebih dari 20 tahunan tersebut.
“Apakah benar tidak ada orang? Haruskah aku memencet tombolnya sekali lagi?” tanyanya kepada diri sendiri. Lantas, tanpa pikir panjang tangannya terulur ingin memencet tombol bel rumah tersebut. Namun, semuanya terhenti setelah ia dengar suara derit pintu dari dalam. Pintu yang semula tertutup itu pun terbuka dan menampilkan perempuan paruh baya dengan keringat berpeluh-peluh.
“Astaga! Maafkan saya Nona. Saya sedang bersih-bersih di atas. Saya tidak mendengar jelas bila bel rumah berbunyi. Untung saja ada Non Aera yang mengatakan kalau bel rumah berbunyi," pungkas perempuan paruh baya tersebut sembari mengelap keringatnya yang berpeluh.