Bel rumah bebunyi berkali-kali, bahkan setelahnya terdengar suara ketukan pintu yang teramat kasar.
“Siapa ya? Kenapa tidak sabaran sekali?” gerutu Rangga, bersamaan dia gerakan kursi rodanya ke area pintu.
Rangga kemudian dengan pelan membuka pintu rumahnya. Manik legam Rangga membulat sempurna ketika laki-laki itu melihat wanita paruh baya, yang tak lain tak bukan adalah ibu Khaira.
“Ibu? Tumben datang ke rumah,” ujar Rangga yang terkejut karena kedatangan ibu Khiara itu. Bagaimanapun juga ibu Khaira itu tak pernah mengunjungi Rangga dan Khaira, apalagi jarak rumah mereka yang jauh.
“Memangnya ibu tidak boleh datang ke rumah anak ibu sendiri?” Perempuan paruh baya itu berujar dengan sewot, tatapannya pun begitu tajam kepada Rangga.
“Bukan seperti itu, Bu. Hanya saja, ibu sudah lama tidak ke sini. Kalau begitu, ayo duduk dulu, Bu! Rangga akan membuatkan teh hangat untuk Ibu,” ujar Rangga penuh kesopanan.
Ibu Khaira tak menimpali ujaran Rangga, manik legamnya sibuk meneliti setiap hal yang terpajang di sana, mulai dari beberapa hiasan dinding dan beberapa lukisan aliran naturalisme yang terpajang, hingga manik legamnya menangkap sebuah bingkai foto pernikahan Kahira dan Rangga. Perempuan paruh baya itu menyunggingkan senyum kecut, kemudian dengan cepat dipalingkan wajahnya ke arah lain.
Bersamaan dengan itu, Rangga kembali dengan secangkir teh di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menggerakan roda di kursinya.
“Minum dulu, Bu!” Rangga meletakan secangkir teh tersebut di atas meja yang ukurannya tak terlalu panjang dan tak terlalu lebar.
“Makasih.” Ibu Khaira kemudian menyeruput pelan teh buatan menantunya itu. “Tidak terlalu buruk,” ucapnya mengomentari seperti seorang juri.
“Di mana, Khaira?” tanya ibu Khaira.
“Khaira mulai bekerja hari ini, Bu. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai Guru tari privat,” ujar Rangga mengatakan kebenarannya.