Di ruang kerja bergaya Eropa klasik, suasana tenang tercipta. Dua insan di dalam sana sejak beberapa saat lalu, membicarakan kontrak kerja antara Khaira sebagai guru les tari yang mengajar selama sebulan penuh, sebelum Aera lomba tari dilangsungkan.
Kini keduanya menikmati seduhan coklat panas juga beberapa kue kering yang sudah disiapkan oleh Bi Marni. Khaira dengan sungkan menyeruput coklat hangatnya berkali-kali, dia juga mengambil sebutir kue kering atas desakan Gavin.
Ruangan kerja Gavin itu sejenak tak memiliki suara, kecuali gemercik hujan di luar yang tak berhenti-henti sejak beberapa saat lalu. Ruangan kerja Gavin itu benar-benar ditelan keheningan meski da dua insan dewasa di sana.
Sialnya, ketenangan tersebut bukan masalah besar bagi Gavin. Gavin sama sekali juga tak ingin menghidupkan suasana tenang nan sunyi antara dia dan Khaira, karena laki-laki itu begitu terhanyut dengan manusia di hadapannya itu. Dia diam-diam melirik Khaira yang sesekali menyeruput coklat hangatnya. Diam-diam dipandinginya wajah Khaira bak pahatan Dewi Yunani itu. Diam-diam ia membatin jauh di lubuk hatinya ‘cantik. Sangat cantik.'
Seperti mimpi, itulah yang dialami Gavin. Tak percaya jika wanita yang diidam-idamkannya itu ada di hadapannya. Tak percaya jika dia berada di sebuah ruangan dan hanya berdua dengan wanita yang begitu dia damba, wanita yang begitu dia cinta sekian lama, wanita yang membuat jantungnya bergetar hebat kali pertama melihatnya. Sungguh, Gavin merasa jiwa mudanya kembali menggelora karena kuncup-kuncup cinta di dalam hatinya merekah, setelah kian purnama tenggelam dalam lautan jelaga.
Berbeda dengan Gavin yang dilanda kebahagiaan, Khaira malah dilanda resah. Resah memikirkan keadaan Rangga yang berada di rumah seorang diri, dia resah karena sampai sore dia belum kembali ke rumah, dia resah sekaligus bertanya-tanya. Apakah Rangga sudah makan? Apakah Rangga baik-baik saja? Pikiran wanita itu hanya dipenuhi Rangga, Rangga, dan Rangga.
Sesekali, dia lirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan sudah petang, tetapi dirinya tak kunjung pulang. Lantas, Khaira pun dengan cepat meneguk habis coklat panas di cangkir miliknya.
“Sepertinya sudah sore, aku harus segera pulang,” ujar Khaira yang membuyarkan lamunan Gavin di hadapannya.
“Oh.. ya, tentu. Aa—akan aku antar. Di luar masih hujan. Aku akan mengambilkan payung untukmu,” ujar Gavin kemudian segera melangkahkan kakinya keluar dari ruang kerjanya diekori oleh Khaira. Khaira sebenarnya ingin menolak tindakan Gavin tersebut, Khaira berpikir bahwa hanya rintik hujan, bukan apa-apa baginya. Tetapi sayangnya, Gavin sudah lebih dulu melangkah sebelum dia berucap. Alhasil, dia mau tak mau mengiyakan saja meski tanpa berucap “iya.”
Khaira menunggu Gavin di lantai dasar. Sejenak manik legamnya masih menggerling keindahan rumah megah itu.
“Aku hanya punya satu payung. Tetapi ini besar, jadi cukup untuk kita berdua. Mari aku antar ke mobilmu,” ujar Gavin lalu mempersilakan Khaira untuk keluar rumahnya.
“Sebenarnya aku tak perlu payung, kamu tak perlu repot-repot. Ini hanya gerimis, bukan apa-apa bagiku,” ungkap Khaira yang akhirnya menyuarakan kegundahannya itu.