“Apa maksudmu, Rangga?” tanya Khaira dengan suara yang sedikit meninggi. Pasalnya tiada angin, tiada hujan badai tiba-tiba Rangga mengusulkan kata cerai.
“Apakah aku mengatakannya kurang jelas?” tanya balik Rangga kemudian memutar kursi rodanya agar bisa berhadapan secara langsung dengan Khaira. “Aku mengatakan jika sebaiknya kita cerai,” lanjut Rangga dengan penuh penekanan.
“Ta—tapi kenapa? Rumah tangga kita baik-baik saja bukan? Apa yang menyebabkan kamu mengusulkan cerai seperti ini?” cecar Khaira dengan wajah yang masih shock.
“Semuanya baik, Khaira. Tak ada yang perlu kamu khawatirkan, tetapi akulah yang semestinya tahu diri. Aku tak pantas untukmu, aku laki-laki tak berguna. Aku harusnya berada di posisimu. Aku tulang punggung di sini. Tetapi aku malah berada di rumah, aku sangat tidak berguna, Khaira. Aku hanya beban,” ujar Rangga panjang lebar.
Lagi-lagi, Khaira mendengar hal seperti itu dari suaminya. Khaira sampai jengah mendengar Rangga yang mengatakan dia sebagai beban, Rangga yang tak berguna bagi Khaira, Rangga yang semestinya memikul tanggung jawab sebagai suami. Khaira berkali-kali sudah menantaskan perasaan hal seperti itu dari sang suami. Tetapi kenapa tiba-tiba saja Rangga mengatakan hal semacam itu lagi? Apa yang membuat Rangga terpantik?
“Apakah ini gara-gara Ibu? Apa yang dikatakan Ibu kepadamu, Rangga? Apakah dia mengatakan hal buruk tentangmu?” cecar Khaira.
Khaira tahu betul watak keras sang ibu apalagi dengan kondisi Rangga yang begitu memprihatinkan, kakinya belum mengalami kemajuan sedikit pun setelah mengalami kelumpuhan.
Rangga sejenak tak menjawab apa yang dikatakan oleh Khaira dan sialnya diamnya Rangga itu adalah jawaban untuk Khaira.
“Aku benar bukan? Ibuku yang memintamu agar kita bercerai?” cecar Khiara lagi.