“Ayah!” pekik Aera ketika melihat ayahnya yang ada di ambang kamarnya. Pekikan nyaring Aera itu membuat Khaira yang tengah sibuk mengompres menatap ke ambang pintu pula. Dilihatnya, Gavin di sana, laki-laki dengan balutan setelan jas kantornya. Dapat dia perkirakan bila Gavin baru saja pulang kerja.
Gavin melangkahkan kakinya ke tempat Aera dan Khaira yang ada di tepian ranjang.
“Ayah baru saja pulang?” tanya Aera dengan binar di kedua manik legamnya.
“Iya, Sayang. Bagaimana kamu hari ini? Omong-omong tumitmu kenapa, Sayang? Hemm?” Gavin duduk di hadapan Aera melihat tumit putri kesayangannya itu.
“Maaf!” Bukan Aera yang menjawab pertanyaan Gavin, tetapi Khaira yang menjawabnya, rasa bersalah Khaira masih terus bersarang di dalam dadanya. “Maaf, saya tidak mengajari Aera menari dengan baik, sampai dia keseleo. Aku kurang hari-hati dalam mengajarinya,” ujar Khaira dengan penuh rasa bersalah.
“Ibu Guru cantik tidak bersalah, Ayah. Ini hanya keseleo biasa. Bukankah Aera pernah keselo sebelumnya? Iya kan, Yah?” Aera menggerling pelan pada ayahnya itu, sebagai tanda agar ayahnya dapat berbohong sedikit dan tak mengatakan yang tidak-tidak termasuk membuat “bu guru cantiknya” itu terus-terus khawatir dengan keadaanya.
Senyum Gavin sejenak terkembang perlahan, kemudian dia mengusak perlahan surai hitam milik putrinya itu, membuat Aera juga tersenyum.
“Kamu jangan khawatir, Khaira. Aera baik-baik saja. Putriku sudah beberapa kali terkilir ataupun keseleo. Setelah dikompres, dia akan baik-baik saja. Jadi, jangan khawatir lagi atau bahkan sampai menyalahkan dirimu. Aera hanya butuh berhati-hati lagi ketika menari,” jelas Gavin dengan saksama kepada wanita yang berada di sampingnya itu.
“Tap—Tapi…”
“Sudah, tidak apa-apa. Besok atau lusa pasti sudah sembuh,” sela Gavin dengan cepat kemudian senyum terlukis di bibirnya, berupaya menghapuskan rasa sedih dan rasa khawatir di dalam benak juga hati Khaira.
Khaira tak bisa mengatakan apa pun lagi, dia hanya bisa mengiyakan penuturan Gavin. Alhasil, Khaira pun hanya mengompres kecil tumit Aera, meski masih ada harap-harap cemas memburu di dadanya.
“Kamu istirahat saja, Sayang. Kalau butuh apa-apa, nanti panggil Bi Marni atau ayah ya. Ayah akan berbicara dengan Bu Guru cantik dulu. Oke?” ujar Gavin menasihati putrinya itu. Setelahnya dia mengusak rambut putri kecilnya.
“Siap, Yah.” Aera menaikan ibu jarinya sebagai tanda kesiapannya, tak lupa bibir tipisnya juga membentuk setengah lingkaran, tersenyum secara menawan.
“Istirahat ya, Aera.” Khaira perlahan mengecup pelan kening Aera seperti seorang ibu yang memberikan cinta kasih kepada putrinya.
“Iya, Bu Guru cantik,” timpal gadis kecil dalam balutan selimut tebal itu.
Lagi-lagi senyum Gavin mengembang dengan kebahagiaan yang memburu dalam dadanya. Tak dapat dipungkiri lagi jika Gavin begitu bahagia melihat Khaira yang akrab dengan Aera, begitu juga sebaliknya. Gavin dibuat jatuh cinta kepada Khaira dan kelembutannya bak seorang ibu memberikan kelembutan serta ketulusan pada seorang anak kandung.