Khaira menepati perkataannya dia menginap di kediaman Gavin dan menemani Aera tidur. Khaira pun telah mengirim pesan kepada Rangga bahwa dia tak dapat pulang, ditambah lagi dengan cuaca yang tidak bersahabat, hujan deras disertai angin juga petir masih melanda berjam-jam lamanya. Untungnya, Rangga paham dengan apa yang dialami Khaira, sehingga laki-laki itu memberikan izin.
Kini, Khaira mendekap Aera yang ada di sampingnya. Gadis kecil itu sudah terlelap sejak beberapa saat lalu. Mungkin Aera sudah nyaman dan sama sekali tak merasa ketakutan, hingga akhirnya terlelap dengan mudah. Padahal sebelumnya, Aera sama sekali tidak bisa terlelap karena takutannya pada suara pertir bersahut-sahutan.
Sejenak, Khaira sudah seperti ibu bagi Aera. Memberikan kasih sayang dan mendongengi Aera sebelum tidur. Khaira bahkan menepuk pelan lengan Aera, agar gadis kecil itu kian nyaman dalam tidurnya.
Berbeda dengan Aera yang sudah terlelap, Khaira malah tak bisa tertidur, padahal waktu sudah hampir larut. Entah mengapa, tetapi yang jelas suara deras hujan dan petir benar-benar mengganggunya malam ini. Atau mungkin juga, Khaira baru pertama menginap di kediaman orang lain, sehingga sulit baginya untuk memejamkan netranya.
Khaira akhirnya memilih bangkit dari ranjang Aera. Sejenak dikecupnya pelan kening Area dengan penuh kasih, barulah senyum di bibir Khaira terkembang luas.
“Tidur yang nyenyak ya. Ibu akan pergi sebentar,” gumamnya lirih meski Aera sama sekali tak mendengarnya. Setelahnya, Khaira melangkahkan kakinya keluar kamar Aera.
Rumah megah nan mewah itu begitu sunyi, hanya ada suara derasnya air hujan yang berjatuhan. Langkah jenjang Khaiara membawanya menuju ke ballroom. Tidak ada tujuan lain yang ada di benaknya, selain ballroom tari.
Sebenarnya Khaira merasa tak sopan, jika diam-diam masuk ke ballroom Gavin tanpa izin, apalagi tidak ada Aera di sisinya seperti ketika mengajari tari. Tetapi mau bagaimana lagi? Dia hanya ingin melelahkan diri agar bisa terlelap dengan cepat.
Hawa dingin Ac menyapa Khaira kala dia buka pintu ballroom. Langkah perlahannya membawa wanita itu masuk ke dalam.
“Aku selalu ingin melakukan ini ketika malam tiba," celetuk Khaira kemudian disusul helaan napas yang panjang. Maniknya pun tertuju pada setiap bagian di ballroom tersebut. "Menari di malam hari sampai aku lelah dan melewati malam," gumam Khaira lagi.
Entah sudah berapa lama Khaira tidak menari kala malam hari, terakhir dia menari bersama Rangga ketika belum menjadi sepasang suami istri. Sudah sangat-sangat lama ternyata.
"Bukankah tidak apa-apa jika aku menari di sini?" Khaira menatap pantulannya di pada dinding cermin yang berjajar di dalam ballroom tersebut.
Khaira menyisihkan rasa ragunya, dimantapkan niatnya menari di ballroom yang bukan miliknya itu. Lantas dengan berani Khaira ambil ancang-ancang menari seorang diri di larut malam tanpa iringan suara musik. Dia membiarkan derasnya hujan menjadi pengiringnya malam ini.
Perlahan, Khaira menjelma seperti angsa putih yang menari di tengah danau. Wanita itu perlahan ke tengah ballroom, dia berjinjit perlahan dengan tangan yang merentang, kemudian dia mengambil langkah lebarnya sesekali lantas berputar perlahan. Sesekali, dia bersenandung perlahan bak seorang penyanyi di antara gemersik hujan yang masih melanda.
“Hem… hehehemm…” Wanita itu terus menyulam nada yang dia senandungkan dipadu dengan iringan hujan, sedangkan kaki dan tangannya masih senantiasa bergerak ke sana dan ke mari, menikmati tarian sederhananya.