Kepergian Gavin dari rumah huniannya, membuat Rangga berpikir banyak hal. Rangga kian berkecamuk, apalagi dia adalah pribadi yang mudah terpantik. Jadi wajar jika Rangga selalu was-was dengan perkataan orang lain.
Rangga membawa cangkir bekas teh milik Gavin itu ke dapur sembari berusaha menetralkan perasaannya. Bersamaan dengan itu, Khaira baru keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Rangga.
“Gavin sudah pulang, Sayang?” tanyanya sereya mengambil nampan yang ada di paha rangga.
“Sudah, Sayang. Baru saja, katanya sudah hampir sore, jadi dia segera kembali. Dia juga berpesan bahwa besok akan menjemputmu ke rumahnya,” ujar Rangga mengatakan apa yang dikatakan Gavin kepadanya dengan persis.
Khaira mengangguk perlahan seraya meletakan satu cangkir yang Rangga bawa ke wastafel. “Padahal, aku bisa naik ojek atau taksi. Tetapi dia tetap saja memaksa, tadi dia juga melakukan hal yang sama. Dia memaksa mengantarku,” tutur Khaira mencurahkan ketidaknyamanannya itu kepada Rangga seraya berkutat dengan cucian cangkirnya itu.
Rangga tersentak, laki-laki itu begitu terkejut dengan perlakuan Gavin kepada istrinya. Bagaimanapun juga, Khaira dan Gavin hanya sebatas berhubungan ihwal pekerjaan, bukan hal lainnya. Tetapi, Gavin sampai menjemput dan mengatar Khaira untuk pulang dan pergi ke rumahnya hanya karena mobil mogok.
“Bukankah Gavin terlalu baik sampai dia mengantar dan menjemputmu?” tanya Rangga yang spontan membuat Khaira menghentikan aktivitasnya, bahkan wanita itu menoleh menatap Rangga yang ada di tepi meja dapur.
“Maksudmu?”
“Maksduku, bukankah tidak pernah ada atasan yang sampai melakukan hal begitu baik kepada bawahannya?” ujar Rangga yang kemudian membuat Khaira membalikan tubuh sepenuhnya menatap kepada Rangga.