Khaira dengan khawatir membuka ruangan kerja Gavin yang tertutup itu dengan kasar. Bagaimanapun juga suara pecahan yang begitu nyaring membuatnya was-was dan takut terjadi apa-apa kepada Gavin.
“Ga—Gavin?” Khaira bersuara memekik di ambang pintu ruangan kerja milik Gavin, membuat Gavin menoleh ke arahnya. Manik legam Khaira membulat sempurna ketika melihat Gavin yang terduduk di lantai dengan pecahan kaca yang berserakan di sana.
“Khaira?” Gavin terkejut dengan kedatangan wanita yang dia damba itu.
“Apa yang terjadi? Kenapa bisa pecah semuanya?” tanya Khaira buru-buru, dia kemudian membantu Gavin yang tengah memunguti pecahan cangkir juga piring itu.
“Aku tak sengaja menyenggolnya tadi,” ujar Gavin berbohong seraya membantu Khaira memunguti pecahan cangkir dan piring miliknya itu. Gavin tak mungkin mengatakan yang sebenarnya jika dia marah-marah gara-gara dia tak dipedulikan oleh Khaira. Bisa-bisa Khaira malah tidak mau dekat dengannya jika Gavin mengatakan hal tersebut.
“Lain kali berhati-hatilah!” ujar Khaira dengan cepat menimpali perkataan Gavin.
Gavin sedikit meleleh dengan perhatian Khaira yang ditujukan kepadanya itu. Apalagi terlihat jelas jika Khaira begitu kahwatir kepada Gavin seraya mengomelinya. Perasaan bahagia menghinggapi Gavin, tak sia-sia dia frustrasi sampai memecahkan piring juga gelas, karena akhirnya Khaira khawatir, bahkan sampai menghampirinya dan mengomelinya. Padahal hari sebelumnya, Khaira bersikap diam dan dingin kepadanya.
‘Aku senang jika kamu khawatir kepadaku, Khaira,’ batin Gavin dengan bahagia, serta manik legam yang masih menatapi Khaira memunguti pecahan cangkir kaca itu.
Lantas muncul ide jahat di benak Gavin. Laki-laki itu dengan sengaja membuat tangannya tergores serpihan cangkir yang tajam, bahkan dia dengan sengaja menekan lukanya hingga menimbulkan darah yang mengalir di telapak tangannya.
“Akh…” rintihnya yang spontan membuat atensi Khaira teralihkan kepada tangan Gavin.
“Astaga!! Berhati-hatilah, Gavin! Tanganmu berdarah!” ujar Khaira kemudian segera meletakan pecahan kaca yang ada di tangannya itu di tempat yang aman. Barulah Khaira menghampiri Gavin yang berada di hadapannya. Khaira memengangi telapak tangan Gavin yang tergores hingga berdarah itu. “Sudah letakan pecahan cangkirnya, biar aku yang membereskannya nanti. Sekarang ayo kita obati dulu lukamu,” pinta Khaira lagi kemudian mengajak Gavin untuk bangkit dan duduk di sofa ruang kerjanya.
“Tunggulah di sini, aku akan membasuh lukamu dengan air. Aku akan membawakan antiseptik dan kotak obat,” ujar Khaira kepada Gavin, setelahnya wanita itu berlenggang keluar dari ruang kerja Gavin untuk mengambilkan kotak obat dan semangkuk air.
Sepeninggal Khaira, Gavin mengembangkan senyum dengan puas. Tidak apa-apa jika tangannya terluka asal mendapat atensi Khaira.
Tak dapat dipungkiri jika hatinya dilanda bunga-bunga, karena dia berhasil mengelabui Khaira. Dia berhasil membuat Khaira seperti semula dengannya, meski harus melukai dirinya sendiri.
“Sial! Omong-omong ini sakit juga,” rutuknya menyadari bahwa goresan lukanya itu begitu dalam sehingga menimbulkan sakit. Alhasil, Gavin dengan segera basuh lukanya terlebih dahulu di wastafel dekat ruang kerjanya agar tak terkena infeksi.
“Huh. Sepertinya memang aku harus terluka agar kamu perhatian kepadaku, Khaira,” celetuk Gavin kemudian terkekeh pelan tak mengindahkan luka di telapak tangannya. Gavin lantas kembali ke sofa setelag membasuh lukanya. Dia menunggu Khaira beberapa saat hingga akhirnya perempuan itu kembali ke ruang kerja Gavin dengan semangkuk air, antiseptik serta kotak obat.