Mobil yang dikemudikan Khaira akhirnya tiba di kediaman dengan gaya Eropa klasik milik Gavin lagi setelah sekian lama. Langkah panjang Khaira membawanya segera ke dalam kediaman tersebut setelah membunyikan belnya.
Dipandu Bi Marni, Khaira tiba di depan kamar Gavin. Sejenak, Khaira tak segera masuk ke dalam kamar yang temaram itu.
"Masuk saja, Non!" celetuk Bi Marni memecah lamunan Khaira.
"Iya, Bi. Makasih sudah mengantar Khaira ya!"
"Iya, Non. Sama-sama. Kalau begitu, Bi Marni tinggal dulu ya."
Khaira manggut-manggut menimpali, senyum tipisnya pun mengembang sempurna. Lantas, dia pun melenggang ke dalam kamar temaram tersebut penuh kehati-hatian. Untuk kali pertama, Khaira masuk ke dalam kamar Gavin. Kamar dengan balutan warna dark juga aroma kopi yang pekat. Sungguh, mencerminkan pribadi Gavin.
Atensi Khaira teralihkan ketika langkahnya tiba di tepi ranjang berukuran king size. Dilihatnya jelas Gavin terbaring lemas di atas ranjang, ditemani Area di sisi laki-laki itu.
Hingga dilihatnya, Gavin masih terbaring dengan lemas dengan manik terpejam ditemani Aera di sampingnya.
Kedatangan Khaira begitu disambut dengan baik oleh Aera yang berada di tepi ranjang.
“Bu Cantik, datang?” Aera dengan cepat memeluk “bu guru cantiknya” itu. Binar bahagia sekaligus haru tercipta di wajah Aera. “Aera rindu, Bu cantik,” lanjutnya dengan mengeratkan dekapannya kepada yang lebih tua.
Khaira tersentuh dengan suara parau dan kata kerinduan dari Aera. Air matanya jatuh tanpa permisi. “Ibu juga rindu dengan Aera. Maaf jarang bertemu dengan Aera, ya,” ujar Khaira kemudian melepaskan dekapannya dari Aera, kemudian dikecupnya pelan pipi gembil Aera.
“Sekarang katakan, Sayang. Kenapa ayahmu bisa seperti ini?” tanya Khaira kepada Aera.
“Aera tidak tahu, Bu cantik. Ayah tidak pulang berhari-hari setelah mengatakan kalau Bu cantik tidak ke sini lagi. Kata Bibi, Ayah bekerja di luar kota, tetapi ketika pulang Ayah demam tinggi bahkan sampai mengingau. Mungkin, Ayah sedang rindu dengan Bu cantik, jadi Aera memutuskan untuk menelepon Bu cantik,” ujar Aera dengan polosnya.
Khaira mengulas senyum tipisnya, kemudian ditangkupnya kedua pipi gembil Aera tersebut dengan penuh kasih.
“Ayahmu mungkin kelelahan, Nak. Sekarang biar ibu saja yang menunggu Ayahmu ya. Kamu istirahat ya, Sayang,” tutur Khaira penuh kelembutan kepada Aera, si gadis kecil itu.
“Baik, Bu cantik.” Area kemudian melangkahkan kakinya keluar kamar ayahnya itu. Namun, ketika sampai ambang pintu Aera sama sekali tak keluar, gadis itu memutar tubuhnya dan menatap “bu cantiknya.”
“Bu cantik?" panggil Aera lirih tetapi dapat didengar oleh Khaira.
"Ya, Sayang?"
"Apakah Ibu tidak mau jadi Ibu Aera? Aera akan sangat senang jika Bu cantik menjadi Ibu Aera,” ujar anak itu yang spontan membuat Khaira terkejut dan terdiam seribu bahasa.
Khaira membeku, pertanyaan Aera begitu tiba-tiba kepadanya. Dia ingin mengatakan “ya” tetapi dia tak bisa, dia ingin mengatakan “tidak” tetapi dia takut membuat hati Aera sakit. Sunguh dia serba salah. Alhasil, Khaira hanya memilih diam dengan menyunggingkan senyum di bibirnya lalu menggeleng perlahan.
“Ibu belum bisa menjawabnya, Aera. Tetapi untuk sekarang, Ibu belum bisa. Maafkan Ibu ya," pungkas Khaira kemudian tersenyum teduh.