Beberapa tahun yang lalu, aku tidak pernah menyangka jika akan menikah dengan Slavina Atmaja, wanita cantik berdarah Jawa-Belanda. Seorang wanita sederhana yang diliputi kelembutan dan berasal dari golongan berada.
Dijodohkan sama sekali tidak pernah terbesit di benakku. Bagiku, zaman telah berubah, bukan lagi zaman Siti Nurbaya yang mainnya dijodoh-jodohkan. Namun, nyatanya aku sama sekali tidak menolak perjodohan itu. Aku dengan lapang menerima perjodohan dengan Slavina Atmajaya, wanita yang tak pernah aku kenal secara dekat sebelumnya.
Aku dan Slavina adalah dua orang asing yang dipertemukan takdir. Tidak ada cinta yang muncul dalam dadaku kala itu, meski aku berusaha membuka hati untuk Slavina. Sepertinya konyol, tetapi itulah adanya.
Katanya cinta datang dari kebiasaan, tetapi tidak sedikit pun cinta hadir dalam dadaku. Hal yang menyakitinya adalah, aku tidak menyentuhnya sedikit pun setelah beberapa bulan menikah. Slavina merasa terluka karena sikapku yang demikian, dia berulang kali mengatakan untuk memulai semuanya bersama-sama. Namun, aku begitu abai.
Hingga suatu hari, kedua orang tua Slavina pergi meninggalkannya untuk selamanya. Slavina begitu terpukul dengan kepergian orang tuanya itu. Tidak ada seorang pun yang menemani Slavina di dunia ini selain aku, suaminya.
Aku merasa iba dengannya kala itu. Dia tak punya kekuatan sama sekali, tidak ada tempat untuknya bersandar dan tidak ada tempatnya untuk berkeluh. Setiap menjelang petang, ketika mega-mega telah terlukis di cakrawala, dia selalu termangu seorang diri di depan balkon. Dia pandangi langit luas dan ditemani satu cangkir teh di mejanya.
Saat itu untuk kali pertamanya, aku berada di sisinya. Aku menemaninya duduk di balkon dan mengatakan bahwa aku ada di sisinya sehingga dia tidak larut dalam kesedihan.
Slavina tersenyum lembut kepadaku saat itu, dia memelukku untuk pertama kalinya dan tangisnya tak terbendung lagi. Saat itulah, rasa ibaku kembali menyeruak. Aku tidak tega melihat dia menangis hingga sesenggukan. Aku tenangkan dia dalam dekapan hangatku.
Hari-hari setelah kejadian di balkon, aku dan Slavina menjadi lebih dekat. Aku pikir, saat itu hatiku telah terbuka untuknya. Aku menerimanya sebagai pendampingku. Hingga suatu hari, sebelum kepergian ibuku sebuah keinginan tercurahkan, ingin memiliki cucu.
Tak ada penolakan yang aku berikan dan akhirnya aku dan Slavina memutuskan untuk memiliki buah hati.
Satu hal yang tak pernah aku lupa dalam hidupku yakni, kebahagiaanku ketika mengetahui bahwa Slavina mengandung. Saat itulah, aku bertambah perhatian kepada Slavina, aku selalu mengatarnya ke mana pun dia pergi, bahkan aku memanjakan dia ketika dia tak meminta apa pun dariku.