Khaira terpaku mendengar semua cerita yang Gavin lontarkan. Dia terkejut tiada kira. Gavin Respati Mahenra, rupanya sudah jatuh hati kepadanya sejak bertahun-tahun, pantas saja Gavin begitu terobsesi untuk bersamanya.
Kenapa saat itu Gavin harus melihatnya menari di pertunjukan? Jika saja kala itu Gavin tidak ada di sana, pasti bahtera rumah tangga Gavin akan baik-baik saja. Khaira juga tak akan berada di hadapan Gavin jika laki-laki itu tak membuka lowongan guru tari. Khaira berulang kali merutuki takdir yang membuatnya berhadapan dengan Gavin.
"Sudah cukup untuk mengerjarku, Gavin. Sudah cukup sampai di sini!" Khaira akhirnya membuka suaranya, ditatapnya pula Gavin yang duduk di hadapannya.
"A-Aku tidak tahu harus bagaimana lagi meminta kepadamu setelah semua kekacauan yang terjadi, tetapi untuk yang terakhir kalinya aku harap kamu mengerti. Biarkan aku kembali ke kehidupanku dan begitu juga denganmu. Jalani hidup kita masing-masing, Gavin. Please!" Khaira menatap Gavin dengan begitu memohon. Guratan sendu pun tercetak jelas di wajah Khaira.
Gavin tak menimpali dan memilih terdiam sembari melengos ke arah lain, tepat pada lampu-lampu bohlam yang sudah mati.
Diamnya Gavin itu menyebabkan perasaan Khaira berombak. Namun, tidak ada salahnya bukan jika Khaira menafsirkan bahwa diamnya Gavin adalah sebuah persetujuan?
"Aku anggap diammu adalah jawaban iya untukku, Vin." Khaira bangkit dari duduknya.
"Aku pergi. Selamat tinggal!" Khaira melenggang dari area teras kediaman Eropa klasik tersebut, meninggalkan Gavin yang masih termangu tanpa suara.
"Kamu tidak boleh melakukan hal seperti ini kepadaku, sebelum kamu melunasi utangmu, Khaira." Gavin akhirnya membuka suaranya, sontak menyebabkan Khaira menghentikan langkah.
Khaira memutar tubuhnya dan ditatapnya Gavin sejenak. "Anggap saja utangku lunas, karena aku tidak akan ke sini lagi dan tidak akan bertemu denganmu lagi," timpal Khaira, barulah wanita itu kembali beranjak menuju mobil.
Mobil putih Khaira akhirnya meninggalkan pelataran kediaman Eropa klasik milik Gavin. Tersisa Gavin seorang di teras, memandang Khaira yang pergi dengan tatapan nanar.
Gavin benci kecewa, Gavin benci dicampakkan, dan Gavin benci ditinggalkan apalagi pelakunya adalah seseorang yang dia cintai.
"Aarrrghh!" Gavin berteriak frustasi, diusak surai legamnya kesal.
Baru saja Gavin menyelam di lautan madu yang manis, kini dia harus menyelam di lautan jegala yang pekat. Baru saja dia akan mendapatkan dan bersanding dengannya tetapi semuanya runtuh sekejap.
"Aku tidak percaya jika kisah cintaku berakhir seperti ini, Khaira."
Gavin menitihkan air matanya. Laki-laki itu tak bisa membendung rasa sedih dan kecewa membabi-buta di dadanya. Berteriak sekalipun tak akan mengubah yang terjadi.
Apa yang harus Gavin lakukan sekarang? Haruskah dia menerima semua keputusan Khaira meski berat dia jalani?
**
Mobil yang dikemudikan Khaira akhirnya tiba di kediaman sederhananya lagi, setelah semalaman dia menginap di kediaman Gavin.
Langkah jenjang Khaira terburu-buru ke dalam rumah dengan balutan warna yang sudah usang tersebut. Pemandangan pertama yang Khaira tangkap yakni Rangga, suaminya yang berada di area ruang tamu.
"Khaira, kenapa baru pulang? Aku meneleponmu sejak kemarin malam." Suara Rangga yang khawatir menyapa indera pendengarannya. Wajah laki-laki itu pun terlihat begitu sendu.
Tidak bisa dipungkiri betapa khawatirnya Rangga ketika sang istri tak bisa dihubungi selama semalaman. Rangga risau dan gelisah ditambah lagi dia tahu bahwa Khaira berada di kediaman Gavin. Pikirannya sama sekali tidak tenang setelah mengetahui Gavin mencintai Khaira.
Usai mendapatkan cecaran dari sang mertua tepat sebelum Khaira beranjak dari rumah. Rangga hampir putus asa dan ingin mengakhiri hubungannya dengan Khaira.
Namun, semua pikiran itu berubah setelah mengingat penuturan Khaira, bahwa "apa yang menjadi milik kita harus kita perjuangkan." Jadi sama sekali tidak masalah bukan jika Rangga tak melepaskan Khaira yang berstatus sebagai istrinya itu?
"Maafkan aku, Rangga. Maafkan aku! Bateraiku lowbat dan banyak kejadian tak terduga, tetapi yang terpenting sekarang adalah kita harus pergi dari sini." Suara Khaira yang terburu-buru menyapa lamunan Rangga, menyebabkan laki-laki itu tergugah.
Tiada angin dan tiada hujan, Khaira mengajak Rangga pergi. Kenapa harus pergi? Ke mana perginya? Itulah pertanyaan besar di benak Rangga sekarang.
"Tu-Tunggu! Apa yang kamu katakan, Sayang? Pergi dari sini? Kenapa? Apa yang terjadi?"
"Aku akan menjelaskannya nanti, Rangga. Sekarang sebaiknya kita kemasi barang-barang kita. Aku akan membawamu ke tempat yang jauh dan kita akan memulai hidup baru di sana," imbuh Khaira sontak menyebabkan Rangga masih dilanda bingung.
Tanpa menunggu balasan dari Rangga, Khaira dengan segera mendorong kursi roda sang suami menuju ke dalam kamar yang berbalut warna pastel. Khaira dengan buru-buru mengemasi pakaian demi pakaiannya dan meletakan ke dalam koper. Dia juga mengemasi pakaian Rangga hingga menyisakan sedikit pakaian di dalam lemari besar.
Rangga masih dilanda bingung dengan semua laku Khaira yang terburu-buru. Sayangnya semua pertanyaan Rangga atas kebingungannya itu tak kunjung mendapatkan jawaban pasti dari Khaira. Jadi apa boleh buat? Rangga akhirnya menurut saja.
Usai mengemasi beberapa pakaian dan beberapa barang yang Khaira perlukan. Dia segera mengajak Rangga untuk keluar menunggu taksi yang dia pesan.
"Kita harus ke bandara untuk chek in, Sayang."
Penuturan Khaira laki-laki membuat Rangga tersentak. Bandara? Chek in?
"Sebenarnya kamu mau membawaku ke mana, Khaira? Kenapa kita ke Bandara?" Akhirnya Rangga kembali bertanya setelah dilanda bingung tak terkira.
"London. Kita akan ke London dan memulai kehidupan baru di sana," pungkas Khaira kemudian berjongkok menyejajarkan dirinya dengan sang suami.
Netra Rangga menunjukan keterkejutan ketika Khaira menyebutkan London. Tidak pernah terbesit di benak laki-laki itu, bahwa dia akan ke London bersama dengan Khaira.
Khaira genggam tangan Rangga dengan erat. "Aku tahu ini semua mendadak untukmu, tetapi ini adalah yang terbaik untuk kehidupan rumah tangga kita. Aku tidak ingin ada seorang pun yang bisa membuat kita sedih dan terpecah belah seperti sesaat lalu, Rangga." Khaira berujar serius tanpa ada keraguan di wajahnya.
Khaira sudah memikirkan semua itu dengan baik saat mengemudikan mobilnya dari kediaman Gavin. Satu-satunya jalan agar Gavin tidak mengusik kehidupannya dengan Rangga lagi adalah dengan menjauh dan Khaira pikir London adalah tempat yang tepat.
Khaira memiliki sahabat di sana dan dia sudah menghubunginya beberapa saat lalu untuk meminta bantuan. Khaira harap semuanya berjalan dengan baik di London nantinya.