Sang Pencuri Musim Semi

Ikal
Chapter #1

Bab 1

Hann

“Seperti kedatangan seekor katak yang tiba-tiba, setiap kelahiran juga adalah kelahiran yang cepat dan spontan. Sim salabim, seorang manusia memasuki tempat yang baru, yang berbeda sekali dengan sebelumnya. Kau tahu, aku tak menghendaki diriku terlahir. Aku tidak meminta kepada siapa pun, dan aku juga tak disuruh oleh siapa pun. Tetapi aku berusaha untuk menjadi baik. Kalau begitu, siapa yang dapat menghentikan penciptaan?” tanyanya. “Terlanjur hidup berarti memilih sekotak penderitaan. Alangkah menyenangkannya jika lahir dalam ketiadaan, tak perlu pertanggung jawaban, tak perlu juga pengadilan. Hidup memang tidak sesederhana ketika kematian datang, tetapi hidup juga tak serumit pintalan-pintalan benang kusut. Semuanya normal, tapi tidak normal. Kadang tidak normal, tapi sebenarnya normal. Ah, hidup memang kadang se-membingungkan itu,” kataku meracau pada pukul tiga pagi.

***

Semua berawal ketika aku mulai menyadari soal ini, sebuah pikiran yang menyeramkan dan begitu tak berdaya. Aku menyadari betul jika hidupku memang terlalu merepotkan banyak orang. Bukan ketika aku hidup saja, bahkan sejak kelahiranku pun, itu sudah menjadi masalah. Bangkit dari kematian adalah salah satu masalah buatku. Tetapi atas kasih Tuhan (yang sebenarnya tak perlu diberikan), ruhku dikembalikan. Ibuku mengatakan jika aku lahir dalam keadaan tak bernapas dan prematur. Ibu saat itu benar-benar menghawatirkanku. Sang perawat yang mengurusiku kemudian menepuk-nepuk punggung lalu mengangkat kedua kakiku persis seperti daging sapi yang digantung di pasar-pasar. Aku juga tidak menangis ketika aku lahir. Hanya ibu lah yang saat itu menangis. Bahkan kata ibu pun, ia sudah pasrah jika aku harus mati setelah kelahiranku. Yah, kuharap juga begitu. Mati bukanlah pilihan yang buruk amat-amat sebenarnya.

Lalu, apakah kelahiran manusia selalu diharapkan? Awalnya aku tidak berpikir seperti itu karena toh aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa soal harapan. Sedari awal, manusia memang tak perlu diberi harapan, itu lebih baik untuk beberapa hal sebelum manusia jatuh tak tertolong. Menyedihkan, menyengsarakan, dan begitu menderita sekali.

Kemudian, diceritakan padaku jika aku masuk inkubator untuk beberapa hari dengan diterangi lampu seterang 100 watt. Aku tak tahu rasanya seperti apa ketika berada di sana. Kesadaranku belum muncul, dan mataku masih terpejam. Andai jika hidungku berfungsi dengan baik, seharusnya aku bisa mencium berbagai aroma di sana. Atau paling hebat, andai aku bisa mengendusi aroma cahaya dan hawa panas. Apakah mereka berbau? Lagi-lagi aku diam tak berdaya.

Tidak sampai di situ, lalu ada tiga atau empat selang masuk ke dalam tubuhku, dan saat itulah keajaiban terjadi; aku kembali hidup! Orang-orang di sekelilingku kadang menyebutku seperti, “Aku seperti dibangunkan dari kematian.” Dan dari beberapa perkataan saudaraku (satu dosa besar yang secara tak sadar nantinya kuputuskan hubungan dengan mereka), sempat berkata, “aku adalah mayat hidup.” Awalnya aku tidak peduli dengan apa yang mereka katakan, toh aku tidak paham sama sekali. Tapi ketika berangsur kesadaranku muncul, aku paham akan apa yang mereka bicarakan. Hei, orang-orang itu memang benar-benar kejam, ya? Bahkan orang-orang yang menjatuhkanmu adalah orang-orang orang terdekatmu. Sampai suatu hari, aku tidak pernah berurusan dengan mereka lagi, bahkan hingga aku dewasa. Di mataku, sekarang tidak ada siapa pun lagi selain kesendirian yang panjang dan mencekam, yang sialnya harus kujalani dengan sukarela. Sebuah perjuangan yang sendirian, yang sepi, yang tak ada siapa pun yang mau mendukung. Mau atau tidak, siap tidak siap, ini adalah kematian jenis baru yang kuhadapi akhir-akhir ini, tentu saja.

Masa kecilku memang tak baik. Sudah sewajarnya aku mencari keramaian untuk mewarnai hari-hariku yang tak pernah punya warna. Aku selalu membuat onar dan kegaduhan di mana-mana. Seantero desa –kalau mendengar namaku; Hann, mereka pasti mengatakan, “Oh itu, aku tahu! Dia anak tengik! Dia anak tak berotak! Tukang rusuh! Pembuat onar di mana-mana!” dan lain sebagainya. Itu kata-kata yang mungkin biasa aku dapatkan ketika orang di luar Verge bertanya soal aku. Lalu setelah dewasa, aku tahu alasan kenapa dulu aku selalu berbuat gaduh. Tidak lain jawabannya memang sederhana; dengan berbuat demikian, aku bisa sedeikit menyembunyikan kesepian yang dalam yang pernah kurasakan. Dan ini adalah jenis mekanisme pertahanan yang selalu kulakukan untuk memerangi kesendirian yang lamat-lamat, pada akhirnya tak bisa dipisahkan dariku.

Lihat selengkapnya