Sang Pencuri Musim Semi

Ikal
Chapter #2

Bab 2

Nala

Acara makan malam adalah acara paling rutin yang tak bisa begitu saja kami lewatkan. Sebelum menjelang tidur, ada baiknya jika semua masalah hari ini diceritakan kepada mereka –maksudku kepada Ayah dan Ibu. Sebab buatku, tak ada pendengar cerita yang lebih baik selain mereka berdua. Ayah selalu mengatakan kepadaku, “Katakan apa pun yang membuatmu tak nyaman, sekecil apa pun itu,” suruhnya. Jadi ya, aku katakan semua yang bisa kukatakan kepada Ayah. Sekalipun itu mengenai kucing tetangga yang terlindas oleh trem di jalan siang tadi. Itu benar-benar membuatku tak nyaman ketika aku kembali mengingat-ingat kejadian tersebut.

Ayah dan Ibu tak berkomentar apa pun karena sepertinya, mereka tak punya kata-kata yang pas untuk diucapkan. Jadi aku cukup mafhum dengan sikap mereka.

“Semoga Katty diberikan kucing yang baru yang sama lucunya dengan kucing sebelumnya,” kata Ayah tiba-tiba memecah kegemingan.

Entah mengapa, tapi aku merasa jawaban itu tidak terlalu tepat. Kata-katanya terlalu beku, terlalu dingin, tak ada empati, dan tak ada emosi pula. Ayah detik itu seperti robot, mendadak kehilangan hatinya. Bahkan dari apa yang ia katakan pun, aku kira itu hanyalah retorika biasa yang digunakan untuk menghindari situasi kikuk. 

Aku lantas mengangguk dan mengulangi kata Ayah, “Ya, semoga Katty diberikan kucing yang baru yang sama lucunya dengan kucing sebelumnya,” kataku sambil menaruh sendok dan garpu sebagai tanda jika aku selesai dengan makan malamku. 

Aku mengambil minum dari tempat yang tak jauh dari piringku, sambil berkata lagi, “Hari ini benar-benar buruk,” aku memulai. Seraya Ayah dan Ibu langsung memalingkan wajahnya padaku.

“Kata guruku, aku benar-benar bodoh.”

Ayah dan Ibu terkejut.

“Bodoh?” Ayah menyambar.

“Ya, aku tak pernah lulus di pelajaran ekonomi,” jelasku.

Dua detik kemudian kami semua bergeming. Lalu Ayah kembali bersuara lagi.

“Tak usah cemas,” ujarnya. “Orang-orang besar sekarang itu juga pernah gagal di satu atau dua mata pelajaran. Tapi kegagalan saat itu tak pernah berarti apa-apa,” kata ayah.

“Setidaknya nilai matematikamu tidak buruk, ‘kan?” Tiba-tiba Ibu masuk.

Aku kemudian memalingkan pandanganku ke arah Ibu. “Akhir-akhir ini, nilai matematikaku juga turun,” jelasku.

“Ya?” tanya Ayah kembali.

Lihat selengkapnya