Sang Pencuri Musim Semi

Ikal
Chapter #3

Bab 3

Hann

Ketika hendak melanjutkan ke SMP, orangtuaku bertengkar hebat. Itu terjadi hampir setiap hari. Dan aku sudah muak mendengar segala macam ucap serapah yang terlontar dari mulut mereka berdua. Keduanya egois. Tak mau mengalah. Sampai-sampai, aku seperti dianggapnya tak pernah ada. Sekalipun aku berada di antara mereka berdua, aku tidak lebih dari pengganggu saja.

Jika tahun baru orang biasa merayakannya dengan megah bersama keluarga, pesta di kafe-kafe, konser di tengah kota, menyulut kembang api bersama kekasih, atau memanggang barbeque bersama kerabat, sanak-saudara atau bersama teman-teman di pantai, tetapi malam itu, aku tak pernah memiliki kesempatan itu sama sekali. Ayah sibuk, begitupun Ibu. Di antara mereka, tak ada yang peduli dengan anaknya sendiri. Dan di saat itulah aku merasa seperti anak yang dibuang, diacuhkan. Kejadian itu bukan sekali dua kali. Dulu pun seperti itu.

Aku kemudian memutuskan untuk keluar rumah dan berjalan sendirian ke tempat yang tak jelas arahnya.

Masih di malam tahun baru, aku dapat melihat kabut di bukit-bukit dekat tempatku turun dari puncak. Di balik itu, aku tahu keadaan di luar sana akan seperti ini; lalu lintas kendaraan akan semakin semrawut dan padat. Dua orang tua menyepah sepiring makanan dengan membuka toko di tepian jalan di tahun baru. Bebungaan berwarna ungu di tepi jalan bermekaran, lantas sayup disapu angin. Pintu-pintu rumah dibukakan seperti sedang merayakan acara yang meriah dengan orang-orang tercinta. Dan hembusan angin melanjutkan pengembaraannya, berhembus nyaris ke setiap penjuru rumah.

Situasi jalanan semakin tak terkendali lagi. Klakson segala jenis mobil dinyalakan. Motor-motor ompreng yang belum menuju kandangnya bersahutan tanpa permisi. Pohon sikamor kecil di halaman rumah bergoyang seperti nyiur di tepi pantai. Pohon kersen begitu rindang di tahun baru dengan segala buahnya yang masak. Kemudian, orang-orang yang tak merayakannya dengan kembang api di alun-alun, berduyun-duyun mengantri panjang di restoran. Mulai dari yang menengah di tepi jalan hingga restoran mewah di sebrangnya. Lalu seorang perempuan yang menyandarkan kepalanya di bahu sang lelaki, atau sebaliknya, romantis di bawah langit yang pecah karena kembang api. Dan aku, aku masih termenung sendirian tanpa ditemani siapa pun selain angin yang mendesis beku melewati relung dadaku.

Lihat selengkapnya