Nala
Memang benar jika masa kecilku didominasi oleh Ayah. Bahkan sekarang pun, dominasi itu tidak berubah. Tentu ia menyayagiku. Apa pun yang aku inginkan, Ayah selalu menurutinya. Ketika malam tiba, tak jarang Ayah juga kadang mengajakku keluar. Kami makan malam berdua tanpa Ibu. “Jangan bilang-bilang ke Ibu,” bisiknya padaku.
Ayah memiliki masalah dengan giginya. Sebenarnya ia harus makan makanan yang lembut. Tapi ketika bersamaku, Ayah selalu mengabaikan hal itu. Ayah kadang memesan makanan-makanan yang sebenarnya, di luar kapasitas giginya untuk dikunyah. Kerap kali, Ayah akhirnya memberikan makanannya kepadaku. Mungkin itu adalah akal bulusnya supaya aku makan banyak. Itu juga akal-akalannya agar aku tetap makan hingga kenyang. Bagaimanapun selama tahun-tahun itu, aku tahu bahwa tak ada cinta lelaki yang lebih besar selain cinta seorang Ayah kepada putrinya. Dan saat itu, aku benar-benar merasakannya.
Di lain hari, aku pernah berpikir tentang optimisme bahwa orang-orang akan tetap tinggal bersamaku sampai kapan pun. Sebelum akhirnya optimisme itu runtuh ketika Ayah meninggalkanku tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Azroil pun tak datang kepadaku meminta izin untuk menjemput Ayah. Tuhan juga enggan berbisik ke telingaku bahwa dia akan segera memanggil namanya. Semuanya mendadak dan tiba-tiba. Betapa semena-menanya Tuhan mengambil orang-orang yang aku cintai. Pikirku ketus mengutuki cara Tuhan mengambil diam-diam orang di sekelilingku. Atau siapa pun itu, tak ada yang memberitahuku soal ini. Di saat itulah aku benar-benar membenci Ayah. Ia berbohong kepadaku bahwa ia akan selalu ada untukku. Ayahku berbohong! Dan itu adalah kebohongannya yang tak akan pernah aku lupakan. Dan mulai saat itu juga, aku tidak akan pernah percaya jika ada orang yang mengatakan, “aku akan selalu ada untukmu, selamanya.” Tidak, tidak, itu adalah lelucon yang selalu ingin aku tertawakan. Bagiku, kata-kata itu hanyalah omong kosong yang dibuat-buat. Bukankah semua orang tahu kalau manusia tidak akan bisa hidup selamanya? Kata “Aku mencintaimu” pun hanya sementara waktu saja. Sampai kapan? Pada akhirnya kita akan melihat batas kata-kata tersebut. Di depan mataku, kata-kata itu telah selesai. Tak ada kata “Aku mencintaimu” lagi setelahnya. Yah, seperti… tak ada yang abadi di dunia ini, semua orang juga tahu. Manusia berubah, dunia pun berubah. Manusia datang, manusia juga pergi. Ah betapa cacatnya dunia ini.
Semenjak kejadian itu, aku dihinggapi berbagai macam pikiran. Salah satunya, aku memutuskan untuk tidak akan pernah mengatakan “aku mencintaimu”, karena itu adalah satu kebohongan yang lain, karena manusia akan berubah, karena manusia akan lupa, karena manusia akan pergi. Jadi betapa tak bermaknanya kata-kata itu. Dan aku tidak akan pernah mengatakan hal-hal yang demikian remeh itu seumur hidupku, tak akan pernah! Sumpahku.
***
Hari setelah kepergian Ayah adalah awal dari segala kejatuhanku. Aku ingat hari itu aku jalan gontai di rumah sakit setelah tahu Ayah telah pergi. Tetapi aku tidak menangis, dan aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Semua perasaan campur aduk. Aku sudah tak lagi paham dengan perasaanku sendiri. Kemudian tiba-tiba kepalaku pusing, penglihatanku kabur, dan seluruh badanku mendadak lemas. Lalu seorang perawat yang kebetulan berada di sana bertanya, “Apa kamu baik-baik saja?” tanyanya. “Ya, aku baik-baik saja,” kataku. Namun tak lama, aku jatuh dan kehilangan kesadaran.
Waktu seperti diputar cepat. Dan saking cepatnya, seolah-olah waktu melayang dan terhenti. Dunia nampak seperti tidak lebih dari sekedar ruang gelap yang tak pernah punya apa-apa. Kusaksikan diriku sendiri mengambang di sana, tetapi tak lama di sisi lain, satu cahaya perlahan muncul semakin besar membesar lalu menyorotiku, seperti lampu sorot di jalanan yang baru saja dihidupkan; aku kembali sadar di detik itu.
Di detik berikutnya, aku sudah berada di ruang rawat dengan kepala diperban dan selang infus sudah melekat di lengan, serta pakaian yang sudah tak lagi sama. Detik kelima atau keenam setelah aku membuka mata, penampakan pertama yang kulihat adalah sosok Ibu. Aku berani bertaruh jika sepanjang hari itu, Ibu berada di sana menemaniku. Tetapi aku masih belum bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa mengerjap beberapa kali, dan yang bisa kulakukan hanyalah menggenggam tangan Ibu yang dingin, penuh keringat basah. Tangannya seolah berkata, “Aku mencemaskanmu.” Lalu aku meraih tangan Ibu dan kukatakan lewat tanganku, “Tidak perlu cemas, Ibu. Lihat, sekarang aku sudah sadar, ‘kan?” kataku sambil tersenyum.