Sang Pencuri Musim Semi

Ikal
Chapter #5

Bab 5

Hann

Hari ini hari selasa dan aku hendak pergi ke suatu tempat di bagian sisi paling timur pulau ini, ke prefektur Moruz, ke pantai bernama Prynn. Sejujurnya, aku tak tahu alasan pasti kenapa harus ke sana. Aku mendengar kabar jika pantai-pantai di sana dapat menyala, seperti warna biru terang-berkilau ketika malam menjelang. Dan hanya warna biru itulah yang satu-satunya terlihat dari bibir pantai. Sebab, warna-warna biru itu dihasilkan dari reaksi bioluminesensi oleh plankton di perairan dalam. Yang beberapa di antaranya dapat menghasilkan pendaran cahaya yang kemilau, megah, dan menawan. Berbondong-bondong orang pergi ke sana. Dan setiap malam, banyak di antara mereka yang akhirnya bermalam di pinggir pantai. Begitu pun aku semakin dibuatnya penasaran. Sambil melarikan diri dari hari-hari yang malang ini, aku memutuskan untuk pergi ke sana sambil merayakan kesendirian yang makin hari, semakin tak terpisahkan dari diriku.  

Untuk sampai di Moruz, aku harus melewati setidaknya tiga prefektur. Pertama, aku harus keluar dari Kryze menuju jalur panjang ke prefektur Louvre. Setelah itu, aku harus singgah di Olssen untuk melanjutkan perjalananku ke Belousva. Dari sana, kereta akan membawaku langsung ke Moruz tanpa hambatan.

Setelah seharian aku berada di kereta menuju Louvre, aku melanjutkan perjalananku dengan sebuah kereta super panjang ke Olssen. Saat itu aku tiba pukul tiga dini hari keesokan harinya. Dari Olssen, aku harus melalui satu prefektur lagi untuk sampai di Moruz. Ya, perjalanan panjang ini masih belum usai, gumamku kecil sambil menarik napas dalam-dalam.

Tetapi di tengah jalan di pusat kota Olssen, aku merasa letih. Perjalanan seharian di kereta ternyata cukup melelahkan. Dan pagi harinya, aku memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu hotel di Olssen.

Perjalanan menuju ke Moruz kutunda hari ini. Selebihnya, aku ingin berbaring di atas ranjang yang empuk, mandi air hangat, menyantap salad buah yang dingin dan segar, lalu aku ingin makan daging sapi. Terakhir, aku ingin panekuk.

Setelah aku menaruh barang-barangku di hotel, aku tidur seharian hingga siang menjelang. Di sela-sela waktu sebelum pukul lima sore itu, aku lebih suka mengurung diriku dengan minuman-minuman dingin dan bergelung di antara instrumen-intrumen Für Elise dan kawan-kawannya.

Pukul lima sore, aku baru mandi dengan air hangat lagi. Tak lupa setelah mandi, aku berjalan ke memesan salad buah segar dan steak di sebuah kafetaria hotel. Di sana aku menghabiskan waktu cukup lama sebelum beranjak mencari panekuk karena di hotelku, persediaan panekuk sudah habis, jadi aku pergi ke restoran kecil berjarak sekitar dua ratus meter setelah menyantap potongan daging sapi terakhirku pukul tujuh malam. Untungnya, panekuk di sana masih tersedia, ditambah dengan madu dan segelas coklat panas.

Aku menyantap hidanganku pelan-pelan. Setelah lama aku berada di sana, baru kusadari, ternyata orang-orang di restoran kecil itu pun dipenuhi oleh mereka yang kebetulan menginap di hotel yang sama denganku. Di kaus depan tertulis nama hotelnya, Dalton. Tak hanya itu, pemandangan yang sangat nampak saat itu adalah, tak ada seorang pun pengunjung yang makan sendirian selain aku. Sampai pukul setengah delapan lebih sampai seorang perempuan lain datang dan ia memilih duduk dihadapanku.

“Kosong?” tanyanya.

Aku mengangguk.

“Boleh aku duduk di sini?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk sambil mengunyah panekukku. Kemudian perempuan itu duduk dengan sopan hingga kini ia berhadapan denganku. Kira-kira usianya 26 atau 27, aku menduga.

Belum sempat aku menelan panekuk di mulutku, perempuan itu kemudian bertanya lagi. “Sendirian?” tanyanya untuk yang ketiga kalinya. “Tidak dengan orangtuamu?” itu pertanyaan keempat. Lalu aku mengganggukkan kepala jika untuk setiap jawabannya iya, dan sesekali menggelengkan karena jawabannya tidak.

“Aku sedirian,” jelasku sambil mengunyah lagi.

Disamping ia membawa sepiring daging sapi, ia juga membawa gelas berisi ginger ale.

“Siapa namamu?” itu pertanyaan kedelapan sejak ia duduk di depanku.

“Hann.”

“Aku Julia,” katanya dan aku sama sekali tidak terkejut.

Satu sendok panekuk lagi mendarat ke mulutku, sedang perempuan itu baru saja mendaratkan suapan pertama daging sapinya melewati bibir yang dipoles gincu merah hati.

“Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?” Itu pertanyaan kesembilan yang konyol.

“Hanya untuk mencari udara segar. Dan kebetulan, aku ingin makan panekuk.”

Perempuan itu mengangguk-angguk kecil sambil mengunyah daging sapinya.

“Seharian ini aku bekerja dan baru tadi aku selesai dengan pekerjaanku,” ujarnya dan aku masih tak peduli.

Aku mendelik ke arahnya. “Baru sekarang?” giliranku bertanya.

“Beberapa menit yang lalu.” Perempuan itu kemudian memasukkan potongan daging sapi ke mulutnya.

“Ya, begitulah,” sahutnya santai sambil bersiap menyantap daging sapi di sendok selanjutnya. Seraya makan, sesekali ia melirik ke selembar gambar yang tertera di dinding restoran. Bukannya ingin tahu, tapi lirikannya benar-benar aneh.

“Ada apa?” tanyaku sambil mengikuti arah pandangan perempuan itu.

Julia menarik napasnya dalam-dalam, lalu bergumam. “Aku tidak tahu kapan terakhir kali melihat matahari tenggelam,” katanya.

Aku mengangkat salah satu alisku. “Ya?”

Kemudian ia kembali mengembalikan pandangannya ke arahku dan tentu saja, mata kami saling bertemu. “Apakah matahari terbit?” tanyanya aneh.

Aku kembali mengernyitkan dahi. “Apa maksudnya?”

“Ya, matahari mungkin tidak pernah terbit. Tetapi matahari bisa terbenam. Dan itulah yang indah dari matahari; ketika ia terbenam.”

Lihat selengkapnya