Nala
Aku membuka kedua mataku dan kulihat di sekelilingku air menggenang. Semakin lama, air itu semakin meninggi. Satu meter, dua meter, tiga meter; kamarku seperti terendam banjir secara perlahan. Dari lukisan itu, air masih saja mengalir, lantas meninggi dengan tenang, perlahan.
Tak seperti kebanyakan air bah di banyak tempat, air yang saat itu memenuhi kamarku adalah air yang jernih, benar-benar jernih; seperti mata air yang baru saja menyembul dari dalam tanah. Tapi kebenarannya, air itu muncul dari lukisan di dinding kamar.
Aku menahan napasku ketika air itu menggulung tubuhku. Hingga tiba di langit-langit, aku masih saja menahan napas. Aku merasa detik ketika tubuhku diringkus air itu, sulit sekali rasanya bergerak. Oksigen yang tersedia semakin lama semakin menipis, tentu saja. Udara yang kuhirup dan kukumpulkan di dadaku sebentar tak akan bertahan lama. Kukira aku akan mati ketika semua usaha untuk menggerakkan seluruh tubuh tak lagi membuahkan hasil. Dan pikiran soal mati muda tak terelakkan hari itu.
Kini pengap mulai menghampiri dadaku, aku ingin oksigen, aku ingin bernapas! Tetapi rasanya langit-langit terasa jauh dari tempatku berbaring hingga aku mengembuskan udara terakhir dari pembaringan. Seperti inikah rasanya mati tenggelam? Pikiran semacam itu berpendar semakin sering di kepalaku.
Oh, selamat tinggal…
Aku merasa aku tengah diambang kematian. Dan suatu ketika, ketenangan menghampiriku. Saat itulah aku tidak pernah memikirkan apa-apa. Hanya kematian, dan segalanya nampak ringan.
Ketika waktu semakin beringsut, aku tidak juga melayang pergi dari tempatku. Tak ada ruh yang keluar dari badanku, dan aku masih tetap dalam keadaan yang sama. Mataku kembali terbuka, tetapi tak lama, satu keanehan terjadi; aku… bisa… bernapas. Ya, bernapas. Napasku normal, senormal ketika aku menghirup udara di daratan lepas.
Bagaimana bisa? Pertanyaan itu mengusikku ketika berada di atas pembaringan.
Karena air mengerubungi kamarku, seharusnya aku mengambang atau melayang-layang bersama dengan semua barang-barang yang ada di kamar, ‘kan? Atau seharusnya, aku terbatuk-batuk ketika air itu masuk ke tubuhku. Atau yang paling masuk akal, semua yang ada di sana haruslah basah, tak terkecuali pakaian yang kukenakan, dan ranjang tempatku berbaring. Tetapi nyatanya tidak. Walau setiap inchnya air itu memenuhi seluruh sudut kamar, tidak ada yang benar-benar basah karena air tersebut. Tak ada satu pun benda yang mengambang, dan tak ada satu pun benda yang basah karena sentuhan airnya. Bagaimana aku menjelaskan ini? Tanyaku bingung dengan keadaan yang masih tetap di atas pembaringan, sedang aku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku tahu pintu kamarku saat itu terkunci. Kulihat jarum pendek di dinding sebelah barat kamarku bergerak di angka sebelas. Dan ketika jarum-jarum jam itu berdetik, satu gelembung air tercipta. Menggumpal, mengambang, dan melayang hingga terjebak di langit-langit kamar.
Kubiarkan detik itu hening, dan kubiarkan diriku diam terpaku sambil berbaring digulung air yang berkubik-kubik. Kubiarkan juga kedua mataku menatap langit-langit yang semakin banyak mengundang gelembung udara. Kubiarkan pikiranku bertanya, dan kubiarkan diriku sendirian di tengah keanehan yang tak bisa kuterjemahkan ini.
Aku masih tetap tak melakukan apa pun. Aku juga tidak melakukan gerakan yang berarti lainnya. Satu-satunya yang kulakukan saat itu hanyalah bernapas. Ya, bernapas dalam air.
Aku lekas menenangkan diriku sendiri. Lalu perlahan bangkit dari ranjang persis seperti ketika orang-orang naik ke permukaan. Aku mengambang dengan tenang. Perlahan, kaki dan seluruh badanku kini tidak menyentuh ranjang lagi. Aku benar-benar mengambang! Kucoba menggerakkan tangan, kaki, dan berenang menuju setiap sudut kamar. Berputar-putar di atas ranjang, ubin-ubin lantai, lalu aku bergerak melewati celah sempit di atas lemariku, meraih lubang ventilasi, menyentuh langit-langit dinding, meniup gelembung udara, dan kembali aku menyelam hingga tiba di dasar ubin lagi. Aku melayang, mengambang, dan sesekali menyelam seperti di kolam atau di lautan, tentu saja. Dan dalam keadaan seperti itu pun, mengambil udara di langit-langit rasanya tidak berguna. Karena sekalipun di dalam air, aku masih bisa bernapas ternyata.
“Bagaimana menghentikan semua keanehan ini?” tanyaku penasaran.
Andaikata aku menahan air yang mengalir dari lukisan di sana, akankah alirannya terhenti? Tanyaku lagi.
Walau aku tidak terlalu yakin dengan gagasan seperti itu, tetapi aku tetap mencoba menutupnya dengan selembar kain di pojokan lemari. Sudah kukatakan sejak awal, di sini tak ada satu benda pun yang basah. Begitupun dengan kain yang kuraih itu, tak basah sama sekali.
Gelembung-gelembung tercipta ketika aku mengibaskan kaki dan tanganku, mirip seperti gerakan ikan-ikan. Lalu aku kembali berenang menuju lukisan itu sambil menyertakan selembar kain. Kututup lukisan itu dengan kainku. Walau konyol sekali rasanya menutup aliran air dengan kain-kain. Tapi, bagaiamana mungkin air itu bisa tertahan? Bagaimana mungkin kain yang memiliki rongga-rongga itu dapat menghentikan air yang terus mengalir?
Tapi apa yang terjadi, air itu berhenti mengalir. Dan banjir di kamarku perlahan-lahan kembali surut. Hanya butuh waktu tiga puluh detik saja ketika air-air itu menghilang. Seolah, di sini tak pernah terjadi apa pun. Bahkan orang-orang tak menyadari jika tiga puluh satu detik yang lalu, kamarku terendam air.
Aku duduk beberapa detik di tepian ranjang. Tubuhku masih terasa pegal-pegal. Beberapa saat aku mematung memikirkan semua kejadian itu. Tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semakin aku memikirkannya, semakin tak kuketahui jawabannya.
***
Saat itu waktu menunjukkan pukul 11.53 sebelum larut malam. Aku pergi ke dapur, membuka kulkas, lalu mengambil sekaleng minuman. Dari tempatku berdiri, aku menyusuri undakan tangga hingga tiba di area rooftop yang terbuka di atasku.
Sejenak aku bisa melupakan kejadian misterius yang terjadi akhir-akhir ini dengan memandangi pemandangan dari sana; aku dapat melihat lampu-lampu sedang dinyalakan, cahaya nyala-redup di jalan-jalan besar, bangunan-bangunan tinggi, tower-tower komunikasi, lalu rumah-rumah di bawahku yang nampak dalam keremangan.
Dilihatinya langit tampak sangat cerah. Dan aku merasa, perasaanku seperti menjadi sensitif dan melankolis. Langit di atasku hitam gemerlap, tapi menawan ketika ruang-ruang kosong itu dihiasi oleh bintang-bintang yang terurai dari surga, pikir kecilku.
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah melihat pemandagan yang sama di tepi pantai selatan. Aku tak tidur di bawahnya. Tak mengenakan jaket, tanpa syal yang melingkar di leher, dan angin laut bebas meraba setiap tubuhku. Tapi setelah itu, tak pernah lagi aku melakukan hal serupa di kemudian hari. Atau pergi ke gunung-gunung, ke desa-desa menghindari polusi cahaya, atau ke pantai-pantai yang jauh dari hingar-bingar perkotaan, tak juga kulakukan lagi.