Sang Peneduh Hati

Ravistara
Chapter #3

Setangkai Anggrek dan Sekuntum Mawar

Nirmala tidak akan pernah melupakan sejarah pertemuan mereka bertiga. Sejarah yang mengukir indah lembaran silaturahim, tergantung dari sisi mana kisah ini akan dimaknai. Dalam kacamata seorang gadis yang tertatih meraih nilai sejati kehidupan, maka kisah ini bukanlah sekadar romansa mengharu biru semata. Ada pesan khusus yang Nirmala tafsirkan di dalamnya.

Pagi itu, Nirmala melela jemari dengan lincah. Bukan lantaran hatinya gundah sedang menunggu seseorang, tetapi ia sedang sibuk menghitung urutan ayat dalam surat Al Baqarah dalam murajaah. Sementara, dari bibirnya terlantun merdu sebaris kalamullah. Mengalir lancar bak telah terpatri pada lidah. Lalu sejenak, keningnya berkerut. Jumlah jari penanda urutan ayat yang ia hitung terasa tidak cocok dengan bacaannya sekarang. Barulah Nirmala sadar bahwa ia telah melompati satu ayat yang entah sekarang tercecer di mana. Ia lalu mencoba merunut lagi beberapa ayat ke belakang dan mengulanginya dengan hati-hati, hingga tidak sadar seseorang tengah berdiri di hadapannya.

“Assalamu’alaikum.”

Subhanallah. Nirmala terlalu asyik dengan bacaannya hingga tidak menyadari orang itu mengucapkan salam berkali-kali tanpa rasa bosan kendati terabaikan.

Orang itu bernama Ghazi Firdaus.

Ada seorang gadis yang menarik perhatian Ghazi belakangan ini. Gadis berwajah bundar dengan mata sebening kaca. Bukan hanya itu, tetapi benda yang senantiasa bersama gadis itu terlalu mencolok untuk luput dari perhatian. Sebuah kursi roda.

Seorang gadis di atas kursi roda. Mungkin itu adalah sebuah kebetulan yang cukup mengherankan. Baiklah, gadis itu sekilas memang muda dan menarik. Namun, kursi roda? Beragam pertanyaan terlintas dalam benaknya mengenai sebab gadis itu harus menggunakan kursi roda. Kecelakaankah? Faktor lahiriahkah? Atau sebab lain? Sayang sekali, meski daya tariknya masih lebih menonjol daripada benda yang secara tidak langsung menyatakan ketidaksempurnaan pada dirinya.

Subjektivitas tentang “daya tarik” ini saja akan menimbulkan perdebatan panjang. Wajah gadis itu semenjana saja, tetapi menarik di mata Ghazi. Ada kemilau cahaya seolah melingkupinya seperti halo matahari atau bulan yang tidak mampu diwakilkan lewat rangkaian opini maupun teori semata. Intinya, gadis itu telah mengunci pandangan matanya hingga betah berlama-lama untuk diamati.

Itulah masalahnya kemudian. Perbuatannya tidak sengaja tertangkap basah oleh Ustaz Abduh-Abdurrahman-yang kebetulan duduk tepat di sampingnya. Orang kepercayaan ayahnya, pengampu sebuah yayasan tahfiz dan panti asuhan terkenal yang kini menjadi tuan rumah hajatan sebuah maulid rasul. Acara rutin yang diadakan bersama para santri-santriwati yayasan serta para donatur, termasuk keluarganya sebagai pemilik dan donatur terbesar.

Ustaz Abduh menunjukkan gelagat tidak senang tatkala sepasang matanya terus mencuri pandang ke arah gadis itu. Sementara, mereka sedang duduk dalam sebuah majelis sakral. Saat itu, maulid diba sedang dikumandangkan syahdu dan inilah yang menjadi sumber masalah utamanya. Gadis yang duduk di belakang bersama kursi rodanya, tampak tertunduk sejak awal pembacaan syair-syair pujian terhadap baginda Rasul. Bahu gadis itu berguncang sesenggukan. Air matanya mengalir deras, susah payah dibendung oleh sebelah tangan yang sedang menangkup mulut. Sementara, tangannya yang lain meremas kerudung di depan dada seakan berusaha menenangkan diri sendiri.

Batin Ghazi terusik karenanya. Seorang gadis muda yang menangis karena mendengar salawat dan salam dilantunkan, tentu bukan pemandangan yang dapat ia jumpai setiap hari. Para hadirin lain memberikan reaksi wajar dengan tertunduk takzim dan turut berkomat-kamit mengiringi pembacaan maulid. Namun, gadis itu menangis?

Di hari lain, ia bertambah penasaran akan jati diri si gadis berkursi roda. Ghazi baru pulang joging berkeliling kompleks perumahan yang notabene masih berada di bawah perusahaan pengembang properti milik sang ayah, juga lokasi yayasan berada. Si gadis tampak memasuki ruangan yang biasa digunakan Ustaz Abduh untuk mengajar sekaligus tempat pertemuan yayasan. Baiklah, gadis itu tidak datang sendiri, melainkan bersama beberapa orang wanita. Hati Ghazi tergelitik. Mungkin saja si gadis tak dikenal adalah seorang donatur yayasan. Seorang gadis berkursi roda yang juga seorang donatur. Menarik.

Ghazi berdecak. Sudah sepantasnya ia berhenti untuk menghubung-hubungkan antara si gadis dengan kursi rodanya. Lantas, ada ketaksaan menggelayuti pikirannya. Andai benda itu tidak ada, apakah dia masih tertarik untuk memperhatikan si gadis?

“Saya perhatikan, Anda tertarik dengan salah satu hafizah bimbingan saya.”

Ghazi tersentak ketika Ustaz Abduh bicara seperti itu kepadanya suatu hari. Ia tertangkap basah mencuri pandang pada seorang gadis yang sedang duduk di bangku depan yayasan. Hafizah? Jadi … oh, astaga. Semua terkaannya selama ini ternyata salah dan alhasil, mukadimah mengenai gadis itu malah membuat sang sosok makin kuat membekas dalam ingatan.

“Oh, ya?” ujar Ghazi tanpa menutupi rasa ketertarikannya sama sekali.

“Kalau saya boleh tahu, siapa nama gadis itu?”

Ustaz Abduh tersenyum menanggapi pertanyaan penuh semangat darinya. Alih-alih keberatan, sang ustaz justru memberi tahu dengan gamblang. “Putri dari Pak Saifullah yang sudah menjadi donatur tetap yayasan selama setahun. Beberapa kali ia mewakili ayahnya karena Pak Saifullah sedang sibuk belakangan.”

Mafhumlah Ghazi. Asal usul keberadaan si gadis sering muncul di tempat ini mulai terasa beralasan. Ia memang tidak mengenal semua donatur, tetapi catatan mereka semua tersimpan rapi dalam berkas yang bisa ia cari kemudian. Ustaz Abduh yang menyimpannya karena ayahnya menunjuk pria yang sebenarnya masih sebaya dengannya itu sebagai pengelola. Lalu, ia sungguh tidak menyangka jika lewat mulut Ustaz Abduhlah cerita mengenai si gadis (yang tak lagi) misterius mengalir.

“Omong-omong, kenapa dia … berkursi roda?” Tentu saja pertanyaan penuh penasaran memelesat darinya.

“Yang saya tahu, dia sedang masa pemulihan dari sakit.”

“Sakit? Sakit apa?” Ghazi mencecar penuh antusias. Bukannya empati, malah dorongan keingintahuan yang membuncah dalam dirinya. Sekilas Ustaz Abduh mengirimkan denyar keheranan lewat pertemuan tatap keduanya.

“Jelasnya, saya kurang tahu. Bagaimana kalau ditanyakan saja langsung ke orangnya atau teman-temannya?”

Alis Ghazi pun terangkat. Tidak salah? Apakah ini sebuah izin dan restu dari Ustaz Abduh untuk mendekati si gadis?

“Jadi, saya harus bertanya tentang siapa? Siapa namanya?”

Lihat selengkapnya