Sang Peneduh Hati

Ravistara
Chapter #4

Nirmala dan Kursi Roda

“Jangan halangi aku!”

Wanita yang ditolong oleh Ghazi malah mencak-mencak dan mendorong pria itu dengan marah. Wajahnya yang berdempul tebal, basah oleh air mata, meski tidak luntur karena mungkin menggunakan kosmetik kedap air. Ia merangkak di aspal seolah ingin kembali meneruskan niat terjun ke dalam jurang. Tentu saja Ghazi tidak tinggal diam. Direngkuhnya lengan wanita itu erat untuk menggagalkan niat apapun yang coba dilakukan olehnya. Ghazi pun kena hardik lagi.

“Bukan urusanmu!”

“Istigfar, Mbak!” Ghazi mengguncang pelan lengan wanita itu sebentar untuk menyadarkan.

Sekejap kemudian, wanita itu lantas terdiam memperhatikan wajah penolongnya. Pria berkacamata gelap di hadapannya memiliki bentuk tulang rahang yang indah. Oval sempurna, tegas, tetapi tanpa urat menonjol berlebihan. Bibir berlekuk busurnya menampilkan jelas karisma yang mampu menundukkan hati siapa pun jikalau mengembang senyum. Ia tertegun bagai sedang melihat wajah seorang malaikat yang mulia. Tampaknya, pria di hadapannya adalah jenis orang yang tidak pernah mengalami kesukaran hidup atau kerasnya bertahan di atas bumi. Wanita itu merasa terintimidasi sekaligus terpesona.

Berpikir bahwa wanita itu telah mengurungkan niat, Ghazi pun melepaskan tangan dan meminta maaf seusai bertanya sebelumnya apa wanita itu sanggup berdiri sendiri. Untunglah sang ibu dan seorang ART keluar dari mobil untuk membantu.

“Itu mobil Mbak?” Ghazi menunjuk sebuah sedan putih yang terparkir tidak jauh dari lokasi mereka. Wanita itu mengangguk dengan wajah tertunduk serta tersipu. Tampaknya akal sehat sudah kembali menghampirinya hingga merasa malu atas perbuatannya barusan. Ghazi seolah lega. Untung niat awal wanita itu tidak menerjunkan mobilnya langsung ke jurang. Mungkin usaha bunuh dirinya tidak bisa diantisipasi seperti tadi. Sementara sang ibu dan ART menanyai wanita tadi, Ghazi berjalan ke arah mobil si wanita, lalu melongok dan melihat kuncinya masih bertengger di dalam. Ia pun segera membuka pintu mobil dan menyimpan kuncinya, kemudian menelepon sebuah kontak dengan cepat. Ia perhatikan ibu dan ART-nya masih mencoba membujuk wanita yang terduduk syok di pinggir jalan. Masih enggan untuk berdiri rupanya. Untung sedang sepi dan tidak ada kendaraan melintas, bakal merepotkan menyuruh wanita itu memelipir tanpa dipaksa.

“Mbak, kunci mobilnya saya pegang dulu, ya?” Wanita itu terkesiap ketika Ghazi berjongkok memperlihatkan seuntai kunci dengan ganci di tangan pria itu. Ia berusaha merebut, tetapi Ghazi keburu mengamankan dalam saku depan kemeja kokonya. Wanita itu ingin memprotes, tetapi tidak kuasa menentang tatapan Ghazi. Ia seolah mampu merasakan tajamnya manik mata di balik kacamata surya yang pria itu kenakan.

“Lebih baik Mbak tidak pulang sendirian dalam kondisi begini. Biar saya yang mengantarkan.”

“Maksud kamu, Ghazi?” Sang ibu memprotes ide tersebut.

“Rizky kutelepon agar putar balik dan menjemput kalian semua, Bu. Jadi, Ibu dan yang lain lanjutkan saja perjalanan dan susul Ayah.” Ghazi menyebutkan nama sopir mereka yang mengemudi di mobil lain.

“Kamu sendirian?” tanya sang ibu khawatir. “Bagaimana kalau Ibu ikut?”

Pria itu menggeleng pelan. “Tidak usah, Bu. Temani Ayah saja mengurus anak-anak panti. Aku nanti tidak sendiri, kok.”

Sang ibu semakin bingung mendengarkan penjelasan putranya. Sementara, sang wanita mencuri pandang diam-diam ke arah mereka demi mendengar rencana pria itu barusan.

“Mbak tidak keberatan, bukan?” Maka, wanita itu pun mengangguk ketika Ghazi bertanya demikian. Ketegasan dan karismanya seolah berhasil menundukkan keraguan sang wanita hingga tidak bisa menolak. Enggan.

Dengan dibantu oleh sang ibu dari pria penolongnya, wanita itu pun bersedia untuk bangkit. Meskipun masih agak gemetar akibat kekacauan yang diciptakan olehnya sendiri, tidak ada kekurangan suatu apapun pada dirinya sehingga Ghazi yakin untuk mengantar langsung ke alamat rumah si wanita tanpa singgah ke pelayanan kesehatan lebih dahulu. Ibu dari pria bernama Ghazi hanya mengantarnya untuk duduk di jok belakang-tidak ada keberatan darinya karena harus duduk di sana, bukannya di depan bersama pria itu. Kenyataan bahwa ia akan diantarkan oleh pria itu saja, mampu membuatnya merona tersipu. Namun, mata si wanita lantas memicing ketika menyaksikan apa yang tengah terjadi di mobil depan melalui kaca jendela.

Sebuah mobil berukuran besar dari arah berlawanan datang, lalu seorang pria turun dari dalam sana. Ghazi berbicara sebentar pada pria itu seolah sedang menitipkan rombongan yang semula bersamanya. Akan tetapi, bukannya langsung menuju mobil si wanita, pria bernama Ghazi membuka bagasi mobil di depan lebih dulu untuk menurunkan sebuah kursi roda dari dalam sana. Kening si wanita semakin berkerut menyaksikan. Pria itu membawa kursi roda ke sisi kiri mobil dan membukakan pintu belakang, lalu sepertinya terlibat perbincangan yang cukup alot sebentar hingga akhirnya seseorang keluar beringsut menempatkan dirinya pada kursi roda tadi. Mata si wanita kini terbuka lebar. Ternyata ia tidak akan diantarkan pulang sendirian, tetapi Ghazi membawa serta seorang gadis berkursi roda bersama mereka.

Setelah pintu mobil di sebelahnya dibukakan, tampaklah wajah seorang gadis yang ia taksir usianya jauh lebih muda darinya, mengangguk dan tersenyum sekilas padanya sebelum masuk ke mobil. Gadis itu beringsut pelan menggeser bokongnya. Setelah sempurna berpindah ke jok, pintu mobil pun ditutup dan Ghazi memutar membawa kursi roda itu ke belakang. Terdengar bunyi bagasi dibuka, tetapi wanita itu sama sekali tidak memedulikan. Ia justru terperangah mendengar gadis itu berbicara dengan lembut kepadanya.

“Saya Nirmala. Saya temani Mbak sampai tiba di rumah. Boleh, ‘kan?”

Adik Ghazi kah?

Wanita itu mengerjap bingung dan berpura-pura menoleh untuk melihat mobil di depan mereka yang sayangnya sudah menghilang melanjutkan perjalanan. Sementara, Ghazi kini sudah masuk dan menempatkan diri di jok depan gadis itu. Ghazi berbalik ke arah mereka sejenak.

Lihat selengkapnya