Nirmala telah membiarkan setangkai bunga liar menyelusup ke dalam taman hati yang Ghazi semai untuk gadis itu. Padahal, Ghazi telah membangunkan sebuah pagar yang indah dan nyaman untuk Nirmala huni. Namun, Nirmala sendiri yang membukakan pintu pagar dari dalam. Setangkai anggrek kini membelit kokoh turus cinta yang seharusnya menjadi tempat Nirmala bersemayam sebagai ratu penguasa taman.
Setangkai anggrek bernama Arum bukanlah wanita sembarangan. Cantik dan pandai berdiplomasi. Maka, tidak sukar baginya untuk mengeksekusi kesepakatan-kesepakatan penting, termasuk mengakuisisi taman hati Ghazi yang semula disematkan untuk Nirmala. Tidak ada bedanya antara urusan bisnis dan hati. Investor potensiallah yang berpeluang untuk memenangkan penawaran tertinggi.
Loyalitas Arum melibatkan diri dalam yayasan binaan keluarga Ghazi telah mencapai tingkat tinggi. Wanita itu mati-matian mengerahkan segala unsur daya tarik dirinya untuk memikat hati sang putra tunggal dari keluarga terpandang. Maka, tidak heran jika keberadaan Arum di sisi Ghazi telah menjadi pemandangan biasa yang mengundang decak. Hanya satu yang tidak berubah. Ghazi sendiri. Makin ramailah spekulasi yang beredar di lingkungan kompleks tentang bagaimana sebenarnya skema hubungan antara putra Haji Mustafa dan dua orang perempuan di sisinya.
Sebagai manusia biasa, panas juga kuping Pak Haji. Ghazi dipanggil untuk diinterogasi pada suatu hari yang memuncak.
“Ghazi, makin banyak omongan dari mulut orang-orang tentang kamu, Nirmala, dan Arum. Sebenarnya, apa rencanamu ke depan?” tanya Haji Mustafa sembari berdiri di tengah balkon yang menjorok ke taman di halaman rumah bersama sang putra, melayang tinggi di atas gerbang megah.
“Ayah. Jika Ayah mengizinkan ….” Ghazi sempat tertunduk dan menghela napas canggung sebelum mengikuti jejak sang ayah, menatap lembayung senja dengan hati bertasbih. “Aku ingin menikahi seorang gadis.”
Sontak perhatian Haji Mustafa teralih pada wajah putranya.
“Sungguh? Ayah tidak menyangka akan secepat ini dirimu memutuskan.”
Ghazi tersenyum kembali, kini menampilkan barisan giginya yang rapi dan keelokan wajah sang istri yang menurun sempurna di wajah indah sang putra. Ghazi memang sempurna. Tidak susah bagi putranya untuk meminang gadis mana saja yang disuka. Maka, Haji Mustafa pun bertanya antusias.
“Siapa di antara gadis itu yang kamu pilih, Ghazi?” Pria paruh baya itu telah menduga satu nama yang digadang-gadang menjadi calon kuat untuk menjadi pendamping putranya kelak.
“Nirmala Saifullah.”
Air muka Haji Mustafa berubah. Tidak menyangka jawaban Ghazi.
“Aku meminta restu Ayah,” desak Ghazi setengah memaksa ayahnya yang justru bergeming, seakan menyimpan banyak pemikiran.
“Ibu setuju!” Tiba-tiba sang istri muncul ikut bergabung di pinggir balkon. “Nirmala itu anaknya Bapak Saifullah, kita sudah kenal baik keluarga mereka sebagai donatur yayasan. Terus terang, Ibu kurang percaya sama Arum. Baru kenal, sikapnya sudah sok mengatur dan berlagak paling berkuasa saja, padahal dia cuma kepala cabang. Apa motifnya mendekati kamu, coba? Ingin menggaet kamu sebagai investor bank dia?”
“Astagfirullah, Ibu ….” Haji Mustafa menegur istrinya. Tidak ada api dan asap, istrinya malah menyinggung wanita yang belakangan senantiasa main ke yayasan mereka. Arum bahkan dengan cueknya bertandang ke rumah Haji Mustafa, sengaja menemui Ghazi untuk kepentingan di luar yayasan.
“Putra kita sudah dewasa, mampu menentukan mana yang terbaik untuk dirinya. Tidak perlu menjelek-jelekkan segala, nanti fitnah, lo.”
“Ya … Ghazi sudah bilang kalau dia pilih Nirmala, ‘kan?” pungkas sang istri bertubi-tubi. Sang putra tidak urung mengulum senyum mendengar komentar ibunya yang mendukung pilihannya.
“Memangnya, kapan Ghazi ada bilang pilih Arum?” Pria itu malah menggoda balik sang ibu, lantas dihadiahi dengan sebuah cubitan penuh sayang di pipi.
“Kalau kamu dan ibumu sepakat, Bapak tidak punya pilihan selain memberi restu, Ghazi,” ujar Haji Mustafa tidak mau berpanjang lebar. Ia melempar senyum kepada istri dan putranya yang langsung semringah.
“Alhamdulillah ….” tahmid ibu dan anak itu bersamaan. Haji Mustafa pun meraih anak dan istrinya. Ketiganya saling merangkul bersamaan di pinggir balkon, sehingga pemandangan penuh keakraban dari keluarga kecil itu bisa disaksikan oleh anak-anak panti yang sedang bermain bola di lapangan. Tatkala Ustaz Abduh keluar dari arah masjid menuju gedung yayasan, tatapan Ghazi dan pria itu bertemu. Ghazi memberikan isyarat sukses besar dengan acungan jempol sehingga pria itu tampak tersenyum dan membalas dirinya dengan sebuah acungan jempol pula. Selamat, isyarat Ustaz Abduh-Ghazi memang sudah membicarakan keinginan hatinya untuk meminang Nirmala kepada pria itu dan meminta pendapat. Jadi, keberhasilannya memperoleh restu dari orang tuanya dengan mulus bak melaju di jalan tol, patut dibagikan sebagai kabar bahagia.
“Eits, tunggu dulu!”
Ghazi dan Haji Mustafa dibuat bingung oleh sela sang ibu yang kemudian bertanya serius. “Bagaimana dengan Arum? Wanita itu pasti tidak tinggal diam jika tahu keputusanmu, Ghazi! Ibu punya firasat kalau Arum itu keras hati dan nekat merebut suami orang. Apa kata orang-orang nanti?”
“Ibu ….” Ghazi dan Haji Mustafa serentak menegur. Sang ibu menyeringai serbasalah.
“Jangan bikin anak kita malah bingung!” tegur Haji Mustafa geleng-geleng kepala.
“Enggak, kok, Pak. Ini peringatan saja buat Ghazi. Apa kamu mau Ibu bicara sama Arum agar tidak mengganggu kamu lagi?”
Ghazi berdecak, lalu meringis mendengar ide tersebut. Cara sang ibu melindunginya seperti anak kecil saja. Gemas, Ghazi berpindah ke sisi wanita itu, lalu merangkul punggungnya erat.
“Bu, setelah Nirmala sah menjalin hubungan denganku, insya Allah … Arum tidak akan punya kesempatan ikut campur. Aku tidak akan memberikan kesempatan kepadanya melangkahi batas seperti sekarang, tidak bisa membedakan mana kepentingan umum, mana kepentingan pribadi.”
“Hm … putra Ibu. Ibu bangga sama kamu. Ghazi Firdaus memang pria idaman, persis seperti ayahnya yang setia dan menjaga hati istri.”