Sang Peneduh Hati

Ravistara
Chapter #2

Hati yang Berpihak

Jika hati telah berpihak, siapa yang kuasa membolak-balikkan selain Sang Penggenggam hati?

Terdengar panggilan boarding di gerbang keberangkatan menyebutkan tujuan dan nomor penerbangan yang akan ditumpangi oleh Arum. Sesak dalam rongga dadanya kembali membuncah atas nama kecewa. Segenap logikanya dipaksa untuk menerima posisi dirinya yang tidak menguntungkan sekarang, tetapi perasaan jualah yang akhirnya berbicara karena tidak ada yang namanya neraca kepuasan bila sudah menyangkut soal hati. Apalagi kalau bukan soal Ghazi Firdaus, sepetak taman yang kini menjadi kediamannya berbagi dengan puspa lain bernama Nirmala. Kini, wanita itu punya nilai tawar lebih berkat dirinya yang berbadan dua.

Mungkin saja wanita berkulit bening bersih seumpama namanya itu, Nirmala, sekarang sedang terlelap damai dalam pelukan sang suami yang notabene adalah suaminya juga. Sementara, ia sebentar lagi akan berada dalam perut pesawat dengan jadwal penerbangan malam yang suhunya pasti akan dingin. Sebabnya, kali ini tidak ada Ghazi yang akan menggosok-gosok punggung dan telapak tangannya untuk sekadar memberi kehangatan seperti biasa.

Praduga dan cemburu bersatu di sudut bibir Arum yang melekuk getir. Ia pun menyeret koper seberat tujuh kilogram di sisi tubuhnya dengan bunyi roda berdecit kasar, kesat seperti hatinya yang berkarat. Demi memenuhi panggilan boarding yang kesekian kalinya menggema di langit-langit ruang tunggu bandara Syamsuddin Noor, Banjarbaru. 

Dengan suasana hati membara dan diperparah oleh suhu kota tempat tinggalnya yang panas khas daerah dekat khatulistiwa, keringat Arum bercucuran. Lucu juga membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan merindukan hawa gerah ini setelah berada di udara.

Andai saja ada Ghazi, pria itu juga tidak akan membiarkan dirinya menyeret koper sendirian. Sebaliknya, ia akan diperlakukan bak ratu yang siap dilayani kebutuhannya. Figur Ghazi bagai melawan gravitasi mitos lelaki asal Banjarmasin yang kelewat santai dan cuek. Meskipun secara fisik, Ghazi tetap memiliki garis khas pemuda berdarah Banjar yang masih ada kemiripan dengan rumpun Tionghoa, yakni bermata sipit dan berkulit cerah.

Dalam perjalanan di koridor penghubung menuju apron, langkahnya terpaksa dijeda oleh seorang wanita yang berjalan merayap di depan. Bunyi ketuk sepatu berhak tinggi milik Arum teredam pada permukaan karpet berbulu kasar yang mengalasi lantai. Ia berusaha menahan diri untuk tidak berteriak pada si penghalang jalan, Geser bokong Anda sedikit, Bu. Anda memperlambat saya. 

”Maaf.”

Malang tidak dapat ditolak. Sungguh ... Arum tidak bermaksud melampiaskan kekesalan dengan sengaja menubruk wanita tersebut. Kejadian tadi di luar kendali tubuhnya yang entah kenapa sulit diajak bekerja sama hari ini. Sudah terlambatkah untuk meminta maaf? Wajah wanita itu terlihat masam saat berbalik meminta pertanggungjawaban darinya. Huh. Di atas langit ternyata masih ada langit. Arum kalah telak menerima serangan mental dari sepasang mata yang menatapnya tajam bak kilatan panah.

“Cantik-cantik kok melindur.”

Suara itu berbisik samar, tetapi Arum bisa mendengar umpatan kekesalan yang tertuju jelas pada dirinya. Dengan gumpalan jengkel di dada, Arum nekat menyerobot mendahului sebagai tanda antipati yang gagal ia tutupi. Pramugari yang memeriksa tiketnya hanya bisa mengulas senyum serbasalah ketika Arum melakukannya. Biarlah, yang penting ia terbebas dari si wanita bermulut pedas tadi. Tidak ia ambil pusing kalau kekesalan wanita itu akan bertambah berkali-kali lipat karenanya. Bukan urusannya.

Setelah melewati pintu kabin, Arum langsung menyusuri deret kursi yang belum terisi penuh seraya mengamati nomor yang tertera di loker satu-satu, hingga langkahnya terhenti di barisan belakang dekat pintu keluar yang masih kosong melompong. Ia takkan heran kenapa bisa duduk di area ini; Ghazi sendiri pasti yang memilihkan saat pemesanan tiket. Lebih aman berada di bagian ini, katanya. Tidak tahu suaminya itu memang perhatian atau cuma bercanda. Yang jelas sekarang ia butuh mengerahkan tenaga untuk mengangkat koper ke dalam loker di atas kepala. Saatnya untuk meminta bantuan.

Betapa terkejutnya Arum ketika seseorang bersedia melakukannya. Bahkan, tanpa ia meminta terlebih dahulu, kalau boleh dibilang orang itu menyentuh kopernya tanpa izin. Tentu saja ia panik.

“Maaf, itu koper saya—”

Gumam protes terperangkap di balik bibir Arum yang kini terkunci rapat mengetahui siapa orang yang baru saja menolongnya.

Ghazi.

Permainan apa yang sedang dilakonkan oleh pria ini? Pesona kepribadiannya telah memikat hati Arum sejak pandangan pertama. Lalu kini, Ghazi melakukannya lagi. Menaklukkan hatinya dengan mutlak. Muncul di saat tak terduga bak pencuri hati yang lihai dalam mengintai. Meskipun Arum sendiri tidak keberatan jika akhirnya terjerat dalam kawat berdurinya.

Tatapan teduh dari mata bergaris ningrat dan senyum tipis di bibir berlekuk busur seakan memandu Arum dengan sukarela menempati kursinya di dekat jendela tanpa perlu disuruh. Namun, Arum butuh jawaban segera dan ingin mendengar semuanya dari Ghazi. Binar bola mata penuh tanda tanyanya tidak sabar menyambut sang suami yang mengambil duduk di samping. Ghazi mendesah tatkala tatapan mereka bertemu dalam jarak kurang dari sehasta.

“Nirmala yang memintaku untuk menyusulmu.”

Arum mengalihkan pandangan nanar ke arah jendela seakan tidak sudi mendengar. Nama itulah yang justru pertama kali disebut oleh bibir Ghazi dan mampir tanpa izin ke telinganya. Kenapa selalu saja dia? Entah Arum harus berterima kasih atau mengambinghitamkannya. Perasaannya pada Nirmala semakin rumit saja. Bukan karena Arum membencinya. Bukan. Nirmala sungguh tidak pantas untuk dibenci. Arumlah yang tergila-gila sedemikian rupa dan mencintai Ghazi.

Sungguh misterius cara-Nya mempertemukan mereka dalam garis jodoh yang sudah ditetapkan dalam Kitab Tertulis. Setangkai anggrek hitam memesona dan sekuntum mawar putih yang bersahaja, disatukan oleh sepetak taman bernama Ghazi Firdaus. Taman itu berpagar indah dan beraroma harum, membuat kagum yang melihatnya; menghadirkan kenikmatan bagi orang-orang di sekitarnya, hingga bunga yang tumbuh berteduh di dalamnya pun tidak ingin pindah dari sana.

Lihat selengkapnya