Sang Pengembara

Fullah
Chapter #1

Ritchy Village

Seorang gadis berambut sebahu berlari diantara pepohonan tinggi menjulang. Tanpa alas kaki dan baju putih yang sudah penuh tanah, ia terus melangkah dengan cepatnya. Napasnya terengah, mencoba tetap membuka mata untuk bisa selamat dari kejaran lelaki besar di belakangnya. Tidak hanya satu, ada lima lelaki berbadan kekar dengan baju serba hitam mengejar gadis itu.

“Tolong aku…” lirihnya sambil mencoba mengusap keringat di wajahnya.

***

‘Lagi-lagi mimpi yang terus berlanjut setiap malamnya.’

Aku mengendus kesal, mendudukkan tubuhku di atas kursi kayu di depan sebuah kedai. Bermalam di tempat yang berbeda setiap harinya.

Sudah hampir lima hari aku pergi dari desaku, dengan tujuan mencari keberadaan orang tuaku yang dinyatakan hilang sejak dua tahun lalu.

Ini desa ke tiga yang kudatangi, berbeda dengan desa yang lain. Desa ini terlalu sepi, menurutku. Karena biasanya saat matahari sudah menampakkan cahayanya, desa yang lain sudah ramai warga lalu lalang, dan tak jarang mereka memberiku koin atau uang saat melihatku tidur di pinggir jalan. Sementara desa ini masih sangat sepi padahal waktu kira-kira sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Aku berdiri mengambil ranselku yang hanya diisi beberapa potong pakaian bersih. Dan langkahku kini membawaku menuju sebuah sungai.

Bilasan pertama dengan air sungai terasa menyegarkan, seakan kembali hidup. Bilasan kedua membuatku tidak bisa hanya mencuci muka. Dan terakhir, aku memasukkan diriku ke dalam sungai dengan penuh semangat.

"Segar!" seruku seraya menyingkirkan rambut dari wajahku.

Air yang jernih dan dingin, membuatku bersemangat untuk mandi pagi ini. Karena sejujurnya aku belum mandi sejak pergi dari desaku.

Jujur saja, aku tidak sempat mandi karena terlalu sibuk berjalan mengikuti peta dan khawatir jika sudah petang.

Dan mandi kali ini membuat perasaanku menjadi lebih baik dari biasanya, walau semalam aku harus tidur ditemani nyamuk-nyamuk yang terus bernyanyi.

***

“Mau pesan makanan?” tanya seorang pemuda yang kira-kira usianya tiga tahun di bawahku. “Silahkan masuk,” lanjutnya sambil membuka pintu kedainya.

Aku tersenyum dengan senangnya, betapa ini akan menjadi makanan terlezat yang akan aku makan selama lima hari kepergianku dari desa. Tapi, sayang aku hanya berhenti di depan pintu tanpa mau masuk lebih dalam.

“Aku tidak memiliki uang, apa tetap boleh makan di sini?” tanyaku memastikan bahwa aku tidak akan dimaki-maki setelah aku makan nanti.

Lihat selengkapnya