Kalau ingin berbicara mengenai Rias Al-Bulan, tentunya harus dimulai dengan Kerajaan Al-Bulan. Sebuah kerajaan yang berdiri tak jauh dari Deus, dipimpin oleh seorang raja bernama Tsabit, sosok orang yang selalu digadang-gadang oleh rakyatnya sebagai sosok adil, namun bertangan besi di saat yang sama.
Di balik sikapnya yang terlalu sering mengajak rakyatnya perang dengan kerajaan-kerajaan lainnya, ia tak pernah berani menyerang Deus, tentunya karena ukurannya yang tak seberapa, dan perjanjian (yang tak diakui dan tak pernah dibuat) oleh kerajaan-kerajaan lainnya yang tak mau bernasib dengan kerajaan yang pernah mencoba-coba untuk menyerang.
Orang-orang bodoh itu hanya berakhir dengan tulangnya dibuat persembahan, jenderal-jenderalnya dibunuh massal, dan keluarganya dijual. Dari seorang permaisuri menjadi seorang selir petani, putri-putri menjadi aksesoris yang didapatkan secara gratis, sepaket dengan sang permaisuri. Tentunya pangeran-pangeran dijadikan budak, atau diubah menjadi seorang putri bagi mereka yang minat. Itulah yang biasanya akan terjadi bila sebuah kerajaan mencoba untuk menyerang, dan kalah.
Namun di Deus, kerajaan yang dipimpin oleh Sang Penebas Kejahatan, Sang Penyelamat, Sang Pembawa Cahaya, Rex Maximillian, tak memperbolehkan adanya hal yang begitu barbarik dan tak manusiawi terjadi di tanah yang sudah kusucikan dari tirani Raja Setan, itulah panggilan dari raja yang pernah menaklukkan, memeras, dan dengan sukarela mempermainkan rakyat Reol.
Tentunya, itu semua karena tentara-tentara dan juga rakyat yang sudah muak dengannya, banyak dari mereka yang harus mati kelaparan, mati kelelahan karena disuruh bekerja di tambang, mati sakit karena keluarganya sakit, dan mati di tangan Raja Setan sendiri.
Entah itu masuk di gelanggang perang miliknya, yang setiap dua belas kali dalam setahun akan diadakan ajang pertempuran antar para pemuda-pemuda pilihan, semua demi memenuhi kehausannya akan darah yang mengalir. Namun, setiap kali ajang itu selesai, dan sang pemenang sudah terlihat dengan jelas, Raja Setan akan mengajaknya bertarung, dan seperti yang bisa kalian bayangkan, tak mungkin seorang budak perang sepertinya bisa mengalahkan Raja Setan.
Baik itu secara kekuatan, maupun status sosial, mungkin saja bila memang ada orang yang mampu mengalahkannya, kabar buruk secepat guntur akan menghantam keluarga yang dicintainya, dan segala hal yang ia cintai. Klasik menurutku—sebuah ciri khas Raja Setan yang selalu diingat oleh para rakyat.
Aku pun dulu sempat menonton ajang perang buatan yang memiliki nama formal rubrum nocte, yang berarti Malam Merah, aku masih kecil waktu itu, mungkin tak lebih dari sepuluh tahun lamanya, sayangnya, layaknya seorang anak kecil, semestinya aku bermain keluar dengan teman-teman sebaya, namun aku tak mendapatkan kemewahan seperti itu, karena aku hanyalah seorang pesuruh yang disuruh mengelap lantai gelanggang pertarungan, tak begitu besar, mungkin sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang kapasitasnya—secara teori.
Memang, gelanggang itu, seperti yang biasa dibilang oleh Wilricht, seorang budak yang lebih tua dariku, (sekarang ia sudah mati, dicekik oleh Raja Setan karena ia tak sengaja menumpahkan ember ke kakinya, walaupun ia sendiri sudah begitu tuanya, orang-orang seumurnya seharusnya sudah memiliki cucu dan menikmati akhir hayat) berkapasitas tiga belas orang, tapi tiga belas orang itu adalah tiga belas orang yang memiliki andil dalam permainan Raja Setan, dalam arti lain, tiga belas orang eksekutif pilihan, dengan tempat duduk besar layaknya gubernur daerah, tentunya, daerah untuk Raja Besar jauh lebih besar, mungkin akan muat bila diisi sepuluh tahta yang dimilikinya di istana.
Tapi, kembali lagi dengan rubrum nocte, Malam Merah, nama itu dipilih oleh Raja Setan untuk menggambarkan ruangannya yang akan dicat warna merah di hari di mana acara itu selesai. Hanya Raja Setan saja yang mampu berdiri di ruangan itu (ada pengecualian untuk orang-orang terdekatnya), karena, mungkin tebakanmu benar atau salah, tapi kalau melihat dari sikap Raja Setan, kamu semestinya sudah punya gambaran tentang apa warna merah itu.
Warna merah itu—adalah darah para korban kekejian. Semua dari mereka.