Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #3

Perjalanan Menuju Gerbang: Keluar Dari Deus

Kejadian itu terjadi tepatnya delapan jam sebelum raja Deus, Rex Maximillian menjadi bintang tamu di kerajaan Al-Bulan, sebuah prolog, kurang lebih, tapi prolog belum berhenti di situ, mencapai malam, bulan berada di atas kepala, dan orang-orang sibuk dengan kesibukannya masing-masing, salah satunya ialah saudara pedagang Obelix dan Asterix, yang kini sedang menenggelamkan dirinya dalam suasana dan bir yang telah dipesannya.

"Kuingatkan lagi, adikku Obelix, jangan pernah kau berurusan dengan mereka, mereka lebih berbahaya dari para perampok Gaul," peringat Asterix dengan gelas kayu di tangannya.

"Jauh berbahaya dari perampok Gaul—?" kepalanya dimiringkan, "betulkah itu?"

"Ya—mereka pasukan khusus Deus, seperti yang kukatakan, dan kau tahu sebesar apa Deus," tegas sang kakak, "kabarnya sendiri mereka mampu menaklukkan Cisshot tanpa bantuan tentara, coba tebak berapa banyak?"

"Berapa banyak... Maksud kakak?"

"Berapa banyak tentara Rosanguis yang diperlukan untuk menaklukkan Cisshot?"

"Mmm," Obelix terheran, tangannya mengelus dagu yang tak berambut, jauh berbeda dengan kakaknya, "tunggu, tentara?"

Kakak yakin berkata berapa banyak tentara, bukan pasukan? sang adik bertanya kembali.

"Enggak," bantah sang kakak dengan nada lebih tinggi, "maksudku itu sama dengan apa yang kukatakan, berapa banyak tentara Rosanguis yang diperlukan untuk menaklukkan Cisshot?"

"Te—tentara," Obelix menjawab dengan sedikit gagap, tak mungkin itu pertanyaan yang benar, gumamnya, pasti maksud kakak adalah berapa banyak pasukan, atau mungkin batalion yang diperlukan untuk menaklukkan Cisshot, tak mungkin, negara yang besar, jauh lebih besar dari Gaul, dapat dikalahkan oleh beberapa puluh orang, "Mungkin sekitar tujuh ratus," tebaknya.

Sang kakak tersenyum lebar, ada rasa sedikit kebanggaan di dalamnya, ia mengangkat gelasnya dan mengajak adiknya yang bingung itu untuk minum, "Mari! Kita minum ini untuk tebakanmu itu!" ia pun meneguk cairan beralkohol itu dan kembali ke posisinya, baik itu gelas maupun dirinya yang duduk dengan tegak, namun senyum itu tak pernah meninggalkan mukanya.

Apakah Obelix telah salah tebak? tanya Obelix di dalam hatinya.

Ah—tapi tak mungkin, tebakanku pasti benar, ujarnya di dalam hati, ia pun mendorong segala kekhawatirannya itu dengan tegukannya.

Obelix sudah siap mendengar bahwa dirinyalah yang benar, sekuat-kuatnya tentara, tak mungkin ia bisa menaklukkan sebuah daerah yang sebegitu besarnya, yang dijaga oleh sepuluh ribu tentara banyaknya, memang, Cisshot adalah salah satu dari kerajaan terbesar di tanah Reol. Namun, semua itu berubah ketika Asterix membuka mulut.

"Dua puluh."

"Ya?" Obelix melotot, terheran, ia bertanya kembali, "dua puluh apa, kak?"

Dua puluh ribu kah? Itu angka yang masuk akal. Dua kali dari ukuran militer Cisshot, ditambah dengan ukuran mereka yang begitu kecilnya, dua puluh ribu mungkin angka yang terlalu kecil, ragu Obelix.

"Dua puluh," Asterix, sang kakak, mengulang kata-katanya.

Disambi dengan senyumannya yang tak pernah pergi.

"Dua puluh—" kata sang adik, ucapannya tersedak di tengah tenggorokan, matanya masih tertulis dengan kata "bingung" dan "tak percaya", kakaknya sama sekali tak merubah kata-katanya, "Mungkin maksud kakak dua puluh ratus ribu—?" candanya, dengan ukuran Deus yang sebegitu besarnya, nyaris setengah dari tanah Reol, pastinya mereka memiliki pasukan yang banyak.

"Adikku Obelix, kuulangi kata-kataku, dua puluh," nada Asterix tiba-tiba berubah, senyumnya itu sudah dihapus dari mukanya, dan ia meneguk minuman untuk mengakhiri perkataannya.

Tak mungkin, Obelix tak bisa menerima gagasan ide di mana kerajaan Cisshot akan runtuh dengan dua puluh orang tentara, itu sama sekali tak mungkin, angkanya tidak masuk akal, sama sekali tidak masuk akal, bahkan tentara bayaran gabungan dari tanah Reol, terutama dari Gaul dan Rugat yang terkenal dengan kekuatan dan ketahanannya, seribu orang minimal banyaknya, sepersepuluh dari armada Cisshot yang melindungi dua gerbang masuknya.

"Dua puluh ribu maksud kakak?" tanya sang adik dengan nada yang kian meninggi panik, sebetulnya ia sudah menelan ludahnya bersama dengan minumnya, ketakutannya itu semestinya sudah hanyut dengan cairan berwarna kuning itu yang berada di dalam gelasnya.

Raut muka Asterix sama sekali tak berubah, senyumnya sudah hilang, dan matanya tertuju dengan jelas kepada adiknya yang tengah masih bingung, "Kau tahu aku bukan orang yang bercanda ketika aku berbicara seperti ini, apa yang aku bilang berarti sama dengan apa yang kubilang, dua puluh."

Dua puluh tentara Rosanguis cukup untuk menghancur-leburkan Cisshot, lanjutnya dengan nada datar.

"Du—dua puluh..." tak percaya Obelix, "dua puluh orang... Untuk menghancurkan Cisshot..." dua puluh orang untuk menghancurkan kerajaan yang pernah menaklukkan Gaul.

"Ya, dua puluh orang," sang kakak meyakinkan.

Ia mengangkat tangannya, memanggil seorang pelayan, dan meminta segelas bir lagi untuk melanjutkan diskusi kecilnya ini, "Sekarang kau lihat mengapa aku bilang Deus adalah kerajaan yang paling aman, bebas dari invasi kerajaan lain?"

Sang adik tak menjawab, ia masih terlalu terkejut dengan fakta yang diberikan di depan mukanya, begitu tak masuk akalnya, tak mungkin, dua puluh orang bisa melakukan sebuah pencapaian yang begitu besarnya, "tak mungkin, kakak. Menurutku lebih baik kita bermain di rubrum nocte, itu sama sekali tak masuk akal," sangkalnya.

"Mmm," Asterix, yang tengah minum berhenti di tengah jalan mendengar kata-kata adiknya itu, "mungkin kau ada benarnya yah," tambahnya.

Tentu—pasti aku ada benarnya, itu tak lebih dari dongeng, hanya sebuah ancaman tak nyata yang dibuat oleh Deus untuk melindungi wilayahnya, gumam Obelix, ia sedikit tersenyum melihat kakaknya itu setuju dengan opininya.

"Tapi—" Asterix memotong kata-katanya sendiri.

Mari kita bermain dengan hitung-hitungan, Obelix, tawarnya.

"Wilayah Deus itu setengah dari tanah Reol, kau bisa membayangkan betapa besarnya wilayah itu, bahkan mengalahkan kerajaan-kerajaan lain seperti Cisshot, Gaul, Rugat, dan Al-Bulan yang berada di sana, jauh dari Gaul, namun dekat dari Deus. Tentunya untuk melindungi daerah sebegitu besarnya, mereka memerlukan armada yang tak kalah besarnya untuk melindungi kota dan perbatasan-perbatasannya. Mari kita lihat sekarang, kondisi dari kerajaan-kerajaan selain Deus. Masih senang memerangi satu sama lain demi daerah, terutama Al-Bulan itu dengan Tsabit yang senang menumpahkan darah, tapi tak ada yang pernah berani untuk bahkan membawa tentara mereka melewati gerbang Deus, bahkan membawanya pun tak ada yang berani, memang, pastinya ada beberapa tentara bayaran maupun mata-mata yang dikirim oleh mereka, tapi tak pernah ada invasi besar, tak ada kerajaan yang mengumumkan bahwa mereka akan mencoba untuk mengambil tanah Deus. Kira-kira kau punya alasan mengapa itu tak terjadi?"

"Mungkin karena daerahnya yang besar," Obelix melontarkan alasannya, "mungkin karena daerahnya yang berukuran setengah dari tanah Reol, mereka tak ada yang berani menyerang."

"Aku bisa menerima pendapatmu itu, tapi aku punya pendapat lain," tambah sang kakak. Kondisi sekarang sudah mulai memanas, "Kau masih ingatkah dengan Raja Setan?"

Raja Setan.

Tentunya semua mengingat Raja Setan.

Raja yang meminta darah, mengambilnya dari penduduk, dan meminumnya. Namanya sudah cocok dengan perbuatannya.

Raja yang rela menjual semuanya demi kekuasaan.

Sekuat-kuatnya raja, sekuat-kuatnya tiran.

"Tentunya," sang adik mengangguk, "siapa yang tak mengingatnya."

Lihat selengkapnya