Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #5

Maaf, Aku Baru Bangun

Delapan jam telah lewat, dan sang surya pun menggantikan Dewi bulan, ayam menggantikan burung gagak, dan dingin malam berubah menjadi embun pagi. Semua orang telah bangun, sekali lagi memenuhi kota yang berada di perbatasan.

Di salah satu tempat, di tempat yang istimewa, seorang lelaki membuka matanya yang terhantam sinar matahari dan juga dentuman pintu yang terbuka lebar, ia langsung melepaskan dirinya dari sentuhan bantal yang menopang kepalanya, kata orang-orang, bantal dari bulu angsa akan membuat sang pemakai terlelap dalam tidurnya.

Rambutnya yang hitam panjang, menutupi ujung kepala hingga belakang lehernya, sangat kontras dengan matanya yang hitam dengan garis biru yang melengkung di bagian bawah, tak bisa dibilang blasteran maupun heterochromia, dengan penampakannya yang seperti itu, mata itu terlihat seperti batu yang disinari cahaya dewi malam dari bawahnya, atau sebuah batu yang diapungkan di atas laut biru, entah mengapa, itu cocok dengan kulitnya yang berwarna putih bersih dan mulus, tak ada jerawat maupun luka di tubuhnya, jauh berbeda dengan laki-laki umum di tanah Reol.

Di tengah cerahnya pagi, ia berkata "Maaf, aku baru bangun."

Pesan itu ditujukan oleh seorang prajurit yang menunggu di pintu kamar.

Ia berzirah putih, terdapat sebuah mawar merah di bagian lehernya.

Betul, ia adalah seorang tentara Rosanguis.

"Tak apa, tapi bisakah kau lebih cepat? Kau bilang kita mau ke Al-Bulan," balasnya, nadanya terdengar tegas, tapi tak begitu tegas, lebih kepada tak peduli, atau orangnya yang bersifat dingin.

"Aku tahu," senyum sang lelaki kepadanya, senyum yang cukup untuk menghangatkan rahim seorang wanita, "dan, terima kasih sudah membangunkanku."

Sang tentara itu menerima senyumannya, balasannya adalah pipinya yang kian merah, "—Aku tahu itu—!" sahutnya gagap, ia mencoba untuk menutupi mukanya, takut terlihat oleh sang lelaki. Sebuah peristiwa yang normal.

"Mengapa mukamu memerah? Kau sakit kah?" tanya sang lelaki yang keluar dari tempat tidurnya, dan berpindah ke arah sang tentara.

Terlihatlah, aspek lain dari sang lelaki. Dimulai dari leher hingga bagian bawah perut, setiap bagian otot yang ada sangat terbentuk, layaknya atlet—mungkin jauh lebih indah daripada atlet—bahunya yang lebar dan juga kuat, bisa untuk melindungi begitu banyaknya orang. Begitupun juga dengan bagian lengannya, dengan otot yang begitu jelas tercetak namun tak terkesan terlalu besar sehingga ia terlihat seperti monster dengan postur yang tak beraturan, karakteristik lelaki itu jauh—jauh melampaui orang-orang biasa. Tentunya dewa-dewa seperti Hercules akan kalah bila mereka berlomba dalam keindahan figur dan kekuatan, lagipula, lelaki ini adalah orang yang tersandang. Perutnya rata, satu-satunya yang menonjol ialah enam bagian otot yang berkontur dan teratur, sebuah hasil dari latihan fisik yang keras dan rutin. Terakhir, ialah seluruh badannya yang berwarna putih bersih, layaknya keramik, ataupun awan putih, tak ada satu pun ketidaksempurnaan di dirinya.

Tak disadari, lelaki itu telah berada di depan sang prajurit yang tengah panas mukanya, mungkin dari malu—atau hal lain yang hanya diketahui oleh hatinya.

Di saat itu, tangan sang lelaki diangkat, tujuannya ialah pipi sang prajurit, perlahan, dengan setiap gerakan, sang prajurit was-was dengan perlindungannya, ia tahu sang lelaki ini akan menyentuh pipinya, dan ia memilih untuk berdiam diri.

Namun, ia tak pernah merealisasikan permintaannya itu, ketika tangan itu berjarak dua centimeter dari mukanya, ia segera menolaknya, tangannya diangkat dan didorong menjauh.

Ia berkata, "Sudah sana—segera bersiap—aku akan menunggumu di depan—!" perintahnya sembari membuang mukanya ke lantai, tak mau melihat mata dari lawan bicaranya.

"Jam berapa kita mau berangkat?" tanya sang lelaki.

"Bilamana mampu, kita akan berangkat tiga jam lagi, para tentara lain sedang sibuk mengemas barang-barang," jawabnya.

"Baiklah," lanjut sang lelaki, "tapi, sebelum itu..."

Sekali lagi, tangan yang tertolak itu bergerak, melalui bawah menuju ke atas, menuju ke dagu putih sang prajurit, kali ini, ia tak menolak sentuhannya.

Halus, ucap sang lelaki, memuji kehalusan dari bagian bawah muka sang tentara, "Berarti kamu masih rajin merawat mukamu... Ya?" lanjutnya.

Sebelum ia sempat bergerak, tak diberi waktu untuk membuka suaranya, sang lelaki sudah terlanjur bergerak, dengan paksa ia membuka mulutnya dengan lidahnya yang lebar.

Dengan itulah—dua jam dilewati oleh mereka berdua.

Di atas ranjang, hanya berdua.

***

"Sudah kubilang! Kita harus cepat! Mengapa kau begitu?!" teriak sang prajurit murka, "kita seharusnya sudah bersiap untuk berangkat, tapi lihat apa yang telah kau lakukan!"

Sang lelaki itu tak mendengar, matanya sibuk melihat sang prajurit yang tengah mengumpulkan zirahnya yang sudah tercacar di berbagai sudut ruangan. Mulutnya dijahit rapat, tak satu suara keluar. Ia hanya menikmati kesempatan yang diberikan kepadanya.

Kalau dilihat lagi, memang, prajurit itu spesial.

Cantik, kalau sang lelaki itu disuruh beropini.

Opini itu diterima—setengah hati—oleh sang prajurit, "Bicara apa kau itu, kita harus siap-siap."

Memang, prajurit itu cantik.

Karena, ia memang seorang wanita.

Layaknya wanita, tak ada wanita yang tampan, semuanya cantik.

Rambutnya tak jauh berbeda dengan sang laki-laki, menutupi tengkuknya, yang terlihat sedikit ketika ia menunduk untuk mengambil pakaian dalamnya yang tergeletak di lantai. Hitam legam adalah warnanya, hitam sehitam batu obsidian, begitu juga dengan sikapnya yang begitu tajam, layaknya batu obsidian.

Tangannya bergerak, pertama memasang celana dalam yang melindungi bagian bawahnya, lalu sepasang beha untuk menjaga bentuk dadanya, dada yang tak begitu besar, tapi tak terlalu kecil, cocok untuk seseorang sekaliber dirinya. Keduanya berwarna putih pula—sangat kontras dengan warna rambutnya.

Kakinya berpindah, menuju sebuah meja di mana seluruh zirahnya diletakkan, disimpan selagi mereka sibuk melakukan urusannya dua jam yang lalu, tentunya setelah sang lelaki membuka mulutnya dengan paksa. Dan ia tak memiliki kekuatan untuk melawannya, sekuat-kuat dirinya, pastinya seorang wanita tak bisa mengalahkan laki-laki dalam aspek fisik. Walaupun begitu, itu tak berarti ia tak kuat.

Dapat kuakui, pastinya Rosanguis, pasukan elit, pasukan pilihan, pastinya memiliki standar minimal untuk para laskarnya, dan ia dapat memberikan sedikit gambaran mengenai persyaratannya.

Lihat selengkapnya