Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #6

Dimana Dia? Kukira Ia Sudah Siap

Dikisahkan ada seorang lelaki, kulitnya hitam, begitu pula dengan rambutnya yang terbalut oleh kain putih, panjangnya cukup untuk menutupi kepalanya, namun tak semua, setengah karena ia masih seorang bocah, setengahnya lagi karena ia tak memiliki kemampuan untuk melilit kain tersebut sebagaimana rupanya seorang pedagang yang berjualan di seberangnya. Ia duduk dengan sebuah buku di tangannya, isinya sesuatu yang berhubungan dengan angka-angka, apakah lelaki itu mengerti apa yang dibacanya? Entah, tak banyak yang bisa membaca di tanah Reol. Mungkin karena suatu alasan, ia diberi, atau diajarkan cara membaca, tapi dari mana? Tak ada yang tahu.

Ia duduk ditengah kiosnya, disebelahnya ialah seorang lelaki tua yang berwarna kulit sama sepertinya, seorang ayah, kemungkinan besar, keduanya memiliki warna rambut yang sama, tapi bilamana itu kasusnya, mengapa ia tak membetulkan kain yang secara acak dipasang sang lelaki? Aku hanya bisa bertanya.

Sesekali, lelaki itu akan memandangi bukunya itu, lalu memandang sekitar, memastikan ia tak mengabaikan seorang pelanggan yang datang, bisa saja dagangannya akan bangkrut bila ia terlalu serius memperhatikan buku dibandingkan bisnisnya.

Sedang, sang lelaki yang lebih tua itu duduk di atas kursi yang sedikit lapuk, ia tak memanggil pelanggan layaknya pedagang yang tengah memanggil pelanggan untuk datang melihat barangnya, "Wahai orang-orang Reol! Pernahkah kalian melihat ikan ini!? Ikan yang tak bisa ditemukan kecuali di Al-Bulan! Mari! Mari! Dicoba! Rasanya enak!" teriaknya dengan antusias, darah niaga mengalir di dalam badannya, mungkin ia adalah salah satu anak yang memang terlahir dari seorang saudagar. Pekerjaan yang digelutinya persis sama dengan ayah dan juga kakeknya. Berbeda dengan sang lelaki muda yang memegang buku di tangannya.

Duduk tenang, dengan sebuah buku di tangannya, dilindungi dari teriknya cahaya matahari oleh kain tebal, dan dilindungi dari tajam dan kasarnya tanah oleh karpet tipis, meskipun tak semuanya tertutup, setidaknya ia tak perlu berhadapan langsung dengan tanah yang begitu kerasnya. Ia ditemani dengan beberapa barang-barang lainnya. Kantung minum kulit yang berasal dari sapi, beberapa potong roti yang dibungkus dengan kain, dan kain besar yang dijahit, dari penampakannya, mungkin ia gunakan kain itu untuk tidur, tapi apakah itu artinya ia bermalam di kios ini? Bukankah itu terlalu janggal? Umumnya para pedagang akan pulang ke tempatnya masing-masing, beberapa menginap di asrama-asrama penginapan yang tersedia di bagian kumuh kota, atau di rumah mereka masing-masing layaknya para pedagang Gaul yang sebagian besar lakukan.

Namun, untuk sebuah anak kecil sebesar dirinya, tak sebesar lelaki tua yang ditopang oleh kursi lapuk itu, bermalam di tempat ini. Sedikit menyedihkan kalau aku pikir-pikir, tapi seharusnya tak ada hal buruk yang terjadi di tempat ini, setiap malam akan ada serdadu-serdadu Deus yang berjaga malam, berpatroli melewati tempat-tempat yang memang seringkali menjadi subjek pencurian. Lokasi kios lelaki muda itu tak jauh, tak lebih dari dua puluh langkah menuju kompleks pasar yang diisi oleh barang-barang yang lebih mahal, batu-batu permata adalah salah satunya.

Sekali lagi ia melirik ke arah dagangannya, tak ada seorang pun yang datang, mungkin tak banyak orang yang membeli ikan di siang hari, apalagi ikan fingua yang memang terkenal karena kepercayaannya yang mampu membuat pemakannya menjadi lincah, layaknya para orang-orang Al-Bulan yang selalu memakannya setiap hari, tapi menurutku itu tak lebih dari kepercayaan belaka, hanya sebatas iming-iming agar dagangan mereka semua laku, lagipula, orang-orang Deus tinggal di perkotaan, dan rakyat Al-Bulan tinggal di dekat lautan, mayoritas nelayan, bahkan rajanya sendiri seorang nelayan.

Raja Tsabit, penguasa bertangan besi, namun dielu-elukan oleh rakyatnya, entah mengapa, dirinya itu menyukai perang, dan rakyatnya juga tak pernah menolak. Mungkin ada satu-dua orang, namun ketika perintah sudah diberikan, mereka hanya bisa ikut dengan rasa berat hati.

Namun dibalik kerasnya sang raja, umumnya ada suatu kekuatan yang akan mengimbanginya, layaknya adanya cahaya dan bayangan, satu tercipta karena satu lainnya melengkapi, dan imbangan itu adalah putrinya sendiri, yang dinamakan sesuai nama tanah kelahirannya, Putri Al-Bulan. Putri yang sering dibicarakan sebagai orang yang baik hati dan penyabar, setidaknya itu yang pernah didengar oleh sang lelaki muda.

Tentu, selalu sebuah mimpi bagi semua laki-laki untuk memiliki seorang istri yang cantik jelita, namun tentunya tak hanya itu saja, sikapnya, tutur katanya, seberapa penyabarnya, seberapa penyayangnya, semua itu masuk ke dalam perhitungan, tapi untuk anak-anak yang tengah mengalami masa remaja, tentunya sasaran mereka ialah putri kerajaan, lagipula, siapa yang tak mau menikahi seorang putri?

Sang lelaki muda itu juga memiliki hasrat seperti itu, tapi ia memilih hal lain, ia mengerti di mana pijakannya, di tanah apa yang sedang ia injak, dan setinggi apa tanah itu. Tanah yang diinjaknya, tanah yang beralaskan tikar kecil pastinya akan kalah dengan lantai marmer maupun lantai kulit yang sudah menjadi kebiasaan harian bagi putri Al-Bulan.

Itu tak lebih dari mimpi yang terlalu tinggi, saking tingginya ia tak akan bisa melihat istana Al-Bulan yang hinggap di atas bukit, tentunya bila ia katakan keinginannya itu, orang-orang akan mengatakan, "kau lebih baik menang di rubrum nocte daripada menikahkan Putri Al-Bulan," dan mereka ada benarnya, tak mungkin anak kecil sepertinya, yang berasal dari ras yang sama, tapi tinggal di daerah bukan tanah airnya itu dapat menikah dengannya, apa yang dapat menjamin seorang putri, dengan segala status tingginya itu akan memilih seorang lelaki penjual ikan fingua di pinggiran Deus, lebih baik sang penjamin dan jaminannya itu menang di rubrum nocte.

Namun, tak ada salahnya untuk seorang anak memiliki mimpi, justru mimpi itulah hal yang sangat berharga dari mereka, itu bagaikan tunas, masih mampu tumbuh, dan tak ada yang tahu apakah mereka bisa tumbuh mencapai ketinggian itu, mungkin jauh lebih besar daripada yang dibayangkan orang-orang, mungkin saja lelaki muda itu menikahkan Putri Al-Bulan, dengan begitu akan menjadi putra mahkota, lagipula, Raja Tsabit hanya memiliki satu anak, tak lain ialah Putri Al-Bulan.

Dan ia memilih untuk menjalani mimpinya itu, tak peduli dengan apa yang orang lain katakan, dan karena itulah ia menggenggam sebuah buku di tangannya.

Mereka bilang, tak banyak orang yang bisa membaca, dan itu dianggap sebagai hal spesial yang dicari banyak kerajaan.

Itulah jalan masuk yang dipilihnya.

Angan-angan itu terbang di dalam kepalanya, karena itulah ia tetap bersikukuh memandang, mencoba untuk mengerti apa yang digambar oleh sang pencipta.

Namun, ditengah-tengah pembelajarannya, di lembar ke sepuluh dari sekian banyaknya lembar, sesuatu menangkap perhatiannya, atau lebih tepat bila dibilang sang lelaki tua itu mengeluarkan suara.

Ekhm, batuknya.

Sang lelaki itu pun melihat ke depan, dan ia menyadari betapa salah dirinya.

Ia telah lengah, pastinya ia akan dibentak oleh sang lelaki tua.

Tentunya itu bila ia masih hidup setelah melayani sang tamu yang datang.

Tamu yang bertopeng besi, tiga garis putih menjulang layaknya trisula, dan sepasang garis yang terbuka di helmnya. Hanya aura dingin yang dirasanya, mulai dari belakang kepala hingga ekor tulang belakang, zirahnya juga yang begitu putih membuatnya semakin takut, itu artinya ia bukanlah orang yang biasa, di mana prajurit Deus yang sering berpatroli malam, mereka hanya mengenakan sebuah helm dan baju besi yang berwarna hitam dengan aksen emas, jauh berbeda dengan orang yang berdiri, yang terpisah oleh jajaran ikan fingua yang diniatkan untuk dijual.

Lupakan sudah, impiannya itu untuk menikahi sang putri, mengayomi seorang pelanggan seperti ini ia saja tak bisa, apalagi menghadapi tantangan yang jauh lebih besar, ia yakin nasibnya akan berakhir sama dengan dua pedagang Gaul yang diberitakan telah mati di dalam kiosnya, ia yakin sosok itu akan menarik tongkat besarnya yang menggantung di bagian belakang, dan menghantam kepalanya hingga hancur.

Ia hanya bisa diam.

Ia mencoba untuk menerima takdirnya.

Namun, ia tahu ia tak boleh menutup matanya, ia akan dicambuk oleh sang lelaki tua bila ia melakukan itu.

Jadi, ia hanya bisa berdiri, dan merapatkan bibirnya.

Tak disangka, ia akan mendengar suara.

Bukan suara terhunusnya tongkat itu dari belakangnya.

Bukan pula cambuk sang lelaki tua yang akan menghantamnya.

Itu adalah suara yang tenang.

Lihat selengkapnya