Menunggu.
Lengan disilangkan.
Tersimpan di bawah siku.
Melindungi bagian dada, melindungi pelindung dada.
Pelindung yang memiliki logo mawar di atasnya.
"Dimanakah ia?" gumam sang penunggu geram.
Dirinya masih berdiri di atas tanah, di depan pintu masuk, mencoba menahan emosinya sembari menggertakkan giginya, matanya awas akan sekelilingnya, tentu karena ia adalah seorang kesatria, seorang serdadu, dan seorang pengawal raja. Urat dahinya sudah terbentuk, layaknya kotak segiempat yang muncul di komik bila seseorang sudah mulai tak bisa menahan amarahnya, begitupun dengan bibirnya yang tak ia sadari sudah sedikit terbuka, menunjukkan gigi-giginya yang sedang ia kikis kanan-kiri, tentu karena ia kesal dengan orang yang tengah ditunggunya.
"Dia bilang kita akan pergi tiga jam lagi, tapi lihat, batang hidungnya saja belum terlihat!" inginnya teriak, tapi itu tak memungkinkan, reputasinya harus dijaga, ia masih bagian penting dari kerajaan, malah menurut kode etik, ia seharusnya tak menunjukkan sedikitpun emosi, layaknya tentara khusus kerajaan manapun, namun, kode itu mungkin pecah selagi ia menunggu, lagipula, sudah dua jam lebih telah lewat dari sejak ia menunggu, dua jam lebih ia berdiri menunggu.
Dua jam lebih ia tak bergerak dari posisinya, hanya melihat sekeliling dengan kedua lengan yang terlipat.
"Sabar saja, Eira, mungkin ia sedang mengurus sesuatu yang penting," ucap sang lelaki untuk memecah kebisuan, tentunya dari atas kuda yang ditungganginya, "tak ada gunanya bila kau kesal seperti itu, hanya akan menghasilkan sakit hati."
Hebatnya sang lelaki itu, dapat membaca hatinya padahal mukanya sang penunggu saja tertutup oleh topeng besi yang dikenakannya, mungkin sang lelaki itu mengenal sang penunggu begitu dalamnya, atau mungkin dari lika-liku aksi sang penunggu yang jelas membuatnya terlihat sedang kesal.
Berkali-kali, meskipun kaki dan punggungnya itu tak berpindah, jari telunjuk kirinya menyempatkan diri untuk bermain naik turun di atas lengan kanan yang didudukinya, naik turun dengan nada yang kian makin cepat, namun pada satu titik kembali dan diam, lalu kembali lagi bergerak sampai cepat, lalu kembali dan diam.
Itulah salah satu dari kebiasaan yang dilakukan sang penunggu bila ia kesal.
Lebih tepatnya, kebiasaan yang dilakukan oleh Eira.
Seorang prajurit Rosanguis.
Seorang mantan putri kerajaan.
"Sebaiknya urusan itu penting, bila tidak, aku akan mengajarkan dia pelajaran," cibir Eira kesal, tapi masih menjaga posturnya.
"Yakinkah begitu?" tantang sang lelaki, badannya diseluncurkan ke depan, ke bagian belakang kuda yang berambut halus, dan tangan kanannya menahan pipi dengan cara yang sama ketika Eira tengah mengumpulkan zirahnya yang berceceran, "kukira dia yang lebih cerdas daripada kita, mungkinkah kau bisa mengimbanginya dalam membaca?"
Eira semakin kesal mendengar itu, uratnya yang berbentuk kotak di dahinya itu kian membesar dan memerah, ia tak terima mendengar sang lelaki itu berbicara seperti itu mengenainya, tapi ia harus menerima fakta bahwa ia tak akan menang bilamana lawannya adalah Yang Ditunggu, terutama di bidang kecerdasan, "Ya, ya, aku tahu itu, kau tak perlu membukanya," balas Eira dengan nada mengalah.
Sang lelaki itu hanya bisa tersenyum, senyum yang diberikan kepada Eira dari atas kudanya, senyum dengan sedikit rasa puas diri, Eira tak menyukainya, tapi ia memilih untuk diam.
"Tapi, harus aku akui, hebat untuk dirinya bisa mempelajari seluruh bahasa, dan juga tulisan di tanah Reol," utar sang lelaki, "tak banyak orang yang bisa melakukan itu, bahkan aku saja tak bisa. Memang, dia sangat hebat."
Eira mendengarkan ucapannya, dan hanya mengangguk, mengakui opini yang populer diantara mereka, mungkin karena hanya mereka yang mengetahui itu, dan tak ada orang lain yang tahu—karena tak ada orang lain di tempat itu—sebuah rahasia diantara mereka berdua, bertiga bila Yang Ditunggu dihitung.
"Hei," panggil sang lelaki.
"?" Eira memutar kepalanya ke kiri, menghadap sang lelaki.
Dan langsung, Eira tahu ia kadang kali membenci sang lelaki.
Ibu jari kanannya mendorong ujung depan hidungnya, dan matanya ditarik ke atas sampai kedua lingkaran hitam melewati kelopak matanya, dan tangannya yang lain hinggap di belakang kepalanya, jari telunjuk dan tengah menjulur ke atas. Apa yang lelaki ini coba katakan, atau ekspresikan, apakah babi yang tengah kesurupan? Sosok siluman yang kehilangan arah? Atau ia melakukan itu karena sang penulis memerlukan adegan komedi setelah sepuluh ribu kata lebih? Hanya sang lelaki yang mengetahui.
"Bisa tak kau buang ekspresi bodoh itu dari pandanganku?" geram Eira yang kesabarannya tinggal sepersepuluh, sedikit lagi dorongan dan ia akan menghantam sang lelaki dengan kekuatan penuh.
"Baik," sang lelaki langsung menghapus ekspresi bodoh itu dari pandangan Eira dan duduk tegak layaknya seorang lelaki dewasa, "sedari tadi kau hanya cemberut, Eira, aku tak kuasa melakukan itu agar kau tersenyum, ayolah, tak usah marah."
"Tapi dia itu seorang serdadu! Serdadu macam apa yang tak tepat waktu!" bentak Eira, "bila ini terus-terusan terjadi, kerajaan kita akan hancur dalam sekejap mata!"
"Wooaaa..." sang lelaki tak menambah minyak ke Eira yang tengah membara, lalu diam dan merenung.