"Hei."
Eira terpanggil oleh panggilan itu, ia mencari ke sumber suara yang berasal di bagian kirinya, terlihat Melati yang duduk di kudanya yang berwarna coklat, sejajar tingginya dengan Eira, yang berada di atas kuda putih, "Apa?"
"Aku minta maaf ya karena aku telat tadi, kebetulan ada urusan mendadak," Melati menyatukan kedua telapaknya dalam posisi meminta maaf, sebuah senyuman hangat mengikuti.
"Memang apa urusanmu itu? Kau belum memberitahuku dari tadi," tanya Eira dengan nada sedikit marah, tentunya ia akan marah, dua jam ia menunggu berdiri.
"Aku ingin membeli ikan fingua," jawab Melati, dengan suara yang masih bersalah tentunya.
"Kan kita hendak ke Al-Bulan," tegur Eira, "sama sekali tak masuk akal kalau kau membeli ikan itu di Deus, lebih mahal malah bila kau membelinya di sini."
"Ya... Aku tak bisa lagi menahan, aku harus membelinya karena aku sedang mengidam, sudah berapa lama terakhir kali aku memakan mereka..."
"Kita baru makan ikan fingua minggu lalu," Eira mengingatkan, "kau tak ingat kita mampir dulu ke tempat makan itu?"
"Furukawa, tempatnya lumayan untuk beristirahat bagi para pengembara," Rex menyelak, "tempat di mana kau menumpahkan bir itu, Melati."
"Ahhh..." eureka, Melati teringat, "sekarang aku ingat tempat itu, makanannya enak, aku ingin memakan puding anggur itu lagi..."
"Terus bisa-bisanya kamu lupa walaupun kamu suka? Kamu memang aneh," komentar Eira, sedang Rex hanya tertawa mendengar mereka berdua.
"Memang isi kepalamu itu apa, Melati? Aku penasaran sekarang."
"Isinya semua tentang tanah ini, paduka. Hamba diperlukan untuk masalah bahasa," Melati menjawab pertanyaan Rex.
"Kembali lagi, mengapa kamu membeli semua ikan itu? Ini lebih dari cukup untuk perjalanan kita ke sana, atau kau berpikiran untuk membawa ini menjadi buah tangan? Aku pikir itu sedikit tidak etis."
"Tak mungkin hamba menghadiahkan tuan rumah dengan buah dari kebun belakangnya, paduka. Hamba ingin membiasakan indra perasa agar tidak terkejut dengan rasa makanan kerajaan Al-Bulan," utarnya, "tak sopan untuk seorang kesatria tidak menyukai makanan yang akan dihidangkan oleh tuan rumah."
"Mmm... Kau betul juga," Rex setuju dengan ucapannya itu, "tapi. Ada kah hal lain yang membuatmu membeli sebanyak ini? Aku sedikit curiga."
"..." Melati mencoba untuk menghindar, tapi ia tahu ia harus menjawab pertanyaan itu.
"Sebetulnya hamba tadi berniat untuk membeli ikan fingua, tapi di tengah jalan hamba melihat seorang anak kecil yang sedang mencoba untuk membaca buku, saking seriusnya ia mencoba bahkan hamba yang berdiri di depannya itu tak disadari, padahal hamba memakai zirah putih," Melati menjelaskan alasan sebetulnya. "Hamba melihat dia dan merasa semangat, meskipun di tengah-tengah ia berjualan ia masih ada niatan untuk belajar. Hamba pun menanyakan alasannya, dan ia berkata bahwa ia ingin menjadi orang besar, ingin menjadi seorang raja katanya. Jadi hamba membeli barang dagangannya semua agar ia bisa fokus mengejar mimpinya."
"Hmm... Itukah alasan mengapa tas yang dibawamu mengempis?"
Muka Melati berubah merah mendengar ucapan rajanya, tanpa ia sadari ia sudah dibaca begitu cepatnya dan mudahnya, ia malu menerima kenyataan itu, dan berkata, "Betul, paduka. Hamba memberikan buku hamba yang berisikan bahasa Deus kepadanya untuk dia belajar."
"Yah, tak apalah, justru itu hal yang baik, sekarang anak itu bisa belajar."
Mendengar mereka berdua, Eira hanya berdiam diri, tapi ia memilih untuk membuka mulut.
"Itu saja kah?"
"Mmm?" Melati menoleh ke arahnya, "sebetulnya ada satu lagi."
"Apa itu?"
"Aku dengar ada kejadian yang terjadi di pasar, dan aku hendak datang ke sana—sebetulnya itu alasan utama aku pergi keluar—tahu-tahunya aku diusir oleh para prajurit karena mereka bilang 'aku tak punya posisi di sini' dan aku diminta untuk kembali ke tempatku," papar Melati secara perlahan, seiring dengan langkah mereka, "tch, kalau saja mereka tahu siapa kita..." lanjutnya kesal.
"Memangnya ada apa di pasar? Aku tak tahu sama sekali."
"Jadi, begini," Melati memulai penjelasannya, "di malam kita bermalam, katanya ada kejadian, dua orang pedagang Gaul itu ditemukan mati di tokonya," ia menunjukkan jari telunjuk dan tengah untuk menggambarkan para korban, "setelah diketahui, ternyata mereka berdua itu bersaudara, yang tua bernama Asterix, dan yang kedua Obelix. Mereka ditemukan pagi harinya oleh rekan, lebih patut bila aku bilang rival perdagangan yang memiliki kios di sebelah kios mereka, awalnya ia merasa aneh bahwa pintu kios itu terbuka, tapi bau yang ia cium di saat ia melewatinya membuatnya semakin yakin ada sesuatu yang terjadi, dan ia pun menemukan mereka."
"Bagaimana kondisi mereka ketika ditemukan?"
"Tak bisa diselamatkan yang jelas, yang tua terpotong setengah di bagian perut, dan lengan kanannya juga terpotong, sedangkan sang adik ditemukan digantung di tembok, disalib kalau kita mau lebih jelas. Disalib setelah dimutilasi kalau kita betul-betul ingin tepat."