Mungkin sejauh ini aku kurang detil mengenai lokasi yang di tempat aku berada, terutama karena bagian sebelumnya diberi sensor karena mengandung konten dewasa, apa itu yang harus disensor aku tak akan membicarakan karena bila aku melakukan itu, pastinya bab ini juga akan diberi sensor. Tapi bagi kalian yang tak mau membaca bab sebelumnya, aku akan berikan gambaran sedikit mengenai apa yang terjadi di bab sebelumnya.
Setelah kejadian di mana Eira dan Rex dipergoki oleh karakter ketiga, seorang prajurit yang membawa peti kayu berisi ikan fingua, ikan khas kerajaan Al-Bulan, yang kemudian disindir oleh Eira karena kebodohannya membeli barang impor yang berasal dari tempat yang akan mereka tuju, mereka pun berangkat.
Tentunya, tak bisa dilupakan bahwa karakter ketiga itu sekarang menjadi wakil jenderal dari laskar Rosanguis, pasukan khusus kerajaan Deus, yang menurut Eira juga, adalah kegiatan yang tak bermanfaat, karena Rosanguis hanya memiliki dua anggota. Bila kita memakai logika sedikit, itu berarti Eira mengakui bahwa hanyalah dia dan karakter ketiga itulah pasukan Rosanguis. Mungkin tak cocok untuk dipanggil sebagai pasukan kalau anggotanya hanya sebatas dua orang saja.
Wakil jenderal laskar Rosanguis, Melati.
Meskipun begitu, Melati masih tetap senang, siapa yang tak senang diangkat pangkatnya, jabatannya, tapi tidak gajinya untuk dirinya itu, minimal status sosialnya diangkat sedikit, mungkin akan dapat anak buah ke depannya nanti, tapi untuk sekarang, status sosial dirinya itu masih di paling bawah, di bawah Eira sebagai jenderal para Rosanguis, dan di bawah Rex Maximillian, raja dari kerajaan Deus.
Saking senangnya dirinya itu ia segera menyusun peti berisi ikan yang dibelinya itu di atas kudanya yang berwarna coklat, mungkin saja kudanya itu memiliki nama, tapi belum sempat disebut, namun ia kadang kali mengelusnya pelan-pelan agar tidak takut.
Tapi di tengah semua itu, ia masih sempat ditanyakan motifnya membeli ikan impor yang pastinya mahal karena biaya-biaya distribusi untuk sampai ke tanah Deus, Melati hanya berkata kalau ia sedang mengidam, dan tak tahan lagi untuk memakan ikan fingua. Namun, entah bagaimana caranya ia sudah melupakan ikan yang sama yang ia makan sekitar seminggu lalu di tempat makan bernama Furukawa, tempat makan yang cukup terkenal di tanah Deus, ia perlu diingatkan, dua fakta yang diingatkan.
Yang pertama, mereka bertiga telah memakan ikan itu.
Yang kedua, ia menumpahkan bir di tempat itu.
Yang ketiga, bonus dari dirinya sendiri, bahwa ia ingin mencoba puding anggur yang dimakannya lagi.
Orangnya memang pelupa, sayangnya begitu.
Tapi sikap pelupanya itu hanya muncul beberapa kali saja, sebetulnya pikirannya tajam.
Matanya yang sangat tajam, kalau mau betul spesifik.
Cukup tajam sampai ia mampu mengingat hal-hal yang mungkin saja terlewat oleh orang-orang biasa.
Melati itu adalah orang yang ditunggu-tunggu oleh Eira, dua jam lamanya.
Dan ia datang membawa peti kayu berisi ikan fingua.
Tak hanya satu dua ekor.
Sepeti banyaknya.
Itu terlalu banyak untuk mereka bertiga, kalaupun mereka mau memakan itu semua, mereka yakin persediaan itu tak akan habis meskipun sudah memasuki ranah Al-Bulan, kerajaan yang menjadi tujuan kelompok itu.
Rex mencoba untuk bercanda, "Kau berniat untuk memberikan itu menjadi buah tangan kah?" yang ditujukan kepada wakil jenderal laskar Rosanguis.
Tentunya, ia merespon bahwa itu adalah hal yang tak sopan, bak membawakan tuan rumah apel yang tumbuh di halaman belakangnya, perlakuan yang tentunya menuliskan tanda tanya di kepala orang-orang, dengan kuas hitam yang tebal pastinya. Ia menjawab dengan teori yang kusebutkan tadi.
"Tak mungkin hamba menghadiahkan tuan rumah dengan buah dari kebun belakangnya, paduka," ia menjawab kepada Rex, raja Deus, raja dirinya. "Hamba ingin membiasakan indra perasa agar tidak terkejut dengan rasa makanan kerajaan Al-Bulan, tak sopan untuk seorang kesatria tidak menyukai makanan yang akan dihidangkan oleh tuan rumah," dan lanjutnya dengan teori buatannya itu.
Tak baik untuk menunjukkan ketidaksenangan maupun ketidakenakan terhadap apapun yang disediakan oleh tuan rumah, itu adalah inti dari argumennya.
Rex menerima pendapatnya itu, tapi ia masih merasa ada yang janggal, argumen itu tak menjawab pertanyaan yang dimilikinya, mengapa membeli begitu banyak? Kalau dirinya itu hanya mengidam, biasanya hanya akan membeli barang satu atau dua, tidak memborong seluruh dagangan orang.
Melati sepertinya enggan menjawab, tapi bila tidak, ia telah melawan, memberontak rajanya, sehingga ia pun menjawab.
"Sebetulnya hamba tadi berniat untuk membeli ikan fingua, tapi di tengah jalan hamba melihat seorang anak kecil yang sedang mencoba untuk membaca buku, saking seriusnya ia mencoba bahkan hamba yang berdiri di depannya itu tak disadari, padahal hamba memakai zirah putih. Hamba melihat dia dan merasa semangat, meskipun di tengah-tengah ia berjualan ia masih ada niatan untuk belajar. Hamba pun menanyakan alasannya, dan ia berkata bahwa ia ingin menjadi orang besar, ingin menjadi seorang raja katanya. Jadi hamba membeli barang dagangannya semua agar ia bisa fokus mengejar mimpinya," itulah alasannya membeli begitu banyaknya ikan.
"Yah, tak apalah, justru itu hal yang baik, sekarang anak itu bisa belajar," itulah respon Rex.
Melati merasakan sedikit bahagia, tak hanya ia mampu membantu hidup seseorang, tapi juga rajanya menyetujui aksinya.
Seharusnya bab itu berhenti di situ, tapi percakapan kecil itu bukanlah inti dari bab itu, kalaupun iya, tak ada gunanya menggunakan ceklis [konten dewasa] untuk hal yang begitu umum.
Disinilah aku akan memberitahu bagi kalian, bahwa ada kabar duka.
Kedua orang yang kutemui di depan cerita, di dua bab pertama, telah tiada.
Saudara saudagar, Obelix dan Asterix, telah ditemukan dalam kondisi tak bernyawa di dalam kiosnya.
Tak ada yang bisa dilakukan oleh mereka yang menemukan, mereka sudah terlanjur dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Ingin kusayangi kematian mereka berdua, tapi aku diberitahu bahwa kematian bukanlah hal yang boleh disayangkan, mereka sudah terbebas dari tugas-tugasnya, dan sekarang hidup di dunia sana, justru itu adalah hal yang baik, hal yang tak boleh dibawa negatif.
Sayangnya, kematian mereka harus kusayangkan, bukan karena mereka mati, tapi cara mereka mati.