Kedatangan tamu ini dimulai dari tempat yang biasa diisi oleh tamu yang tak diundang, tempat di mana banyak vegetasi hijau, pohon-pohon tinggi, pohon-pohon rendah, tanaman pendek, baik yang menempel di tanah, menarik sumber makanan dari bawah, maupun yang menempel ke batang tumbuhan lain, yang menghisap makanan dari inangnya, segala macam ada, hanya saja belum ada yang mau mencatat satu demi satu, untuk apa, pikir mereka, tumbuhan ini akan masih ada dua ratus tahun yang mendatang, atau mereka tak terpikirkan sampai dua ratus tahun ke depan, yang mereka pikirkan adalah apa mereka bisa makan di hari itu dan hari esok.
Tanah itu sedikit basah meskipun hujan belum datang, musim penghujan masih jauh, sekitar dua atau tiga bulan lagi, namun tanamannya semua masih subur, banyaknya daun kering yang menutupi jalan dan menelan kaki para pengembara, kuku kari dari kuda mereka sudah tak terlihat. Begitu pun dengan bau lembap yang sering ditemui di hutan, itu artinya nyamuk juga banyak, tapi itu bukanlah masalah bagi ketiga karakter kita ini karena mereka sudah terlindungi oleh pakaian yang dipakainya. Dari leher hingga kaki untuk Rex Maximillian, dan dari kepala hingga kaki bagi kedua wanita yang melindunginya di depan.
Mereka semua sudah menghabiskan waktu yang cukup lama di dalam rimba ini, memang, rimba ini banyak diminati oleh para pengembara, hanya saja, karena ini rimba, banyak yang tak ingin melaluinya. Segala macam hewan juga berada di tempat ini, segala macam makhluk bertaring dan bertubuh besar, yang pastinya orang biasa tanpa pengalaman maupun edukasi perang pasti akan mati di terkaman pertama, untungnya mereka bertiga belum menemui mahluk sejenis itu, selama ini, perjalanan mereka aman-aman saja, tak ada hal yang mengganggu maupun menghentikan perjalanan.
Tidak sampai sekarang... Sebetulnya.
Rimba itu adalah rimba yang jarang dilewati orang, semestinya perjalanan mereka itu sehat wal'afiat, tak ada hambatan dalam bentuk apapun, tapi fakta yang terjadi di lapangan dapat membuang opini itu ke tempat sampah dan dibiarkan sampai itu membusuk, layaknya apapun yang mati di rimba ini.
Namanya rimba Arkian.
Dinamakan begitu karena artinya, "sesudah dari itu" dan "kemudian dari itu".
Mungkin artinya sedikit tidak jelas.
Tapi kalau dilihat dari kondisinya, nama itu mulai masuk akal.
Sedikit.
Arkian berarti "sesudah dari itu".
Itu tak dibaca menjadi sebuah kata, melainkan sebuah pertanyaan.
"Sesudah dari itu?"
Sebuah pertanyaan bagi mereka yang masuk ke dalam rimba itu.
Apakah ia selamat, apakah ia mati di tengah jalan, apakah ia dirampok, diterkam oleh binatang buas, jatuh ke dalam jurang, jatuh ke dalam akar pohon, ditelan oleh tumbuhan, bertapa dan menjadi gila di tengah sana, kelaparan dan mati, kehausan dan mati, kehabisan napas dan mati, keracunan oleh makanan yang dimakannya, keracunan karena minum yang diminumnya, dan segala macam skenario tak terbayangkan yang berakhir dengan arti dari nama rimba itu sendiri, "sesudah dari itu?".
Rimba yang seringkali tak bisa ditebak.
Tak bisa dipikirkan.
Layaknya kode perempuan.
Susah ditebak.
Atau mungkin ini lebih ke kode perempuan ketika mereka PMS? Entahlah.
Sebetulnya, ada satu fakta lain yang menurutku mengenai nama rimba itu.
Nama rimba itu sama dengan sebuah komik yang aku suka.
(Sebetulnya, nama itu diambil dari komik itu, tapi tak apalah.)
Lagipula, tak mungkin seorang manusia mampu membuat sesuatu yang 100% orisinal, tak bisa bila kita mau mengaitkan segala macam hal yang pernah diciptakan oleh manusia, akan banyak kontradiksi dan tuduhan tiruan dari satu pihak ke pihak yang lain, baik itu dari alur cerita dan konsep karakter.
Sepertinya aku mulai tersasar, aku minta maaf.
Kembali lagi, kembali ke rimba Arkian.
Tempat di mana aku berada, bersama tiga orang lainnya.
Tiga yang sekarang menjadi tiga belas.
Tiga dari pihak Rex Maximillian.
Sepuluh dari pihak tamu.
Tamu yang tak diundang.
Ditengah perjalanannya, mereka dihadang oleh sepuluh orang tak dikenal, tali kendali kuda ditarik, dan mereka berhenti di tempat.
Rex melihat sepuluh orang di depannya, dan bertanya, kepada orang paling depan, yang menatap langsung ke dirinya seakan ia mau menggunakan semacam ilmu sihir agar ia tunduk, ia bertanya, "Ada apa ya, tuan-tuan yang berbahagia?"
"Kami hanya orang-orang pengembara yang ingin meminta bantuan, tuan. Kami adalah orang-orang rimba di sini," jawab lawan bicaranya itu, mulut berjenggot tebalnya dibuka.
"Oh, betulkah itu, tuan? Saya kira rimba ini tidak ditinggali oleh orang-orang," tebak Rex, "memangnya ada apa ya?"
"Sayang sekali, tuan," lanjutnya, "memang betul, kami bersepuluh ini adalah orang-orang rimba, kami tinggal di sini dan beraktivitas layaknya manusia, hanya saja beberapa orang menganggap kami bukan kaumnya," jawabnya dengan nada yang tenang, tapi ia berjalan maju, memotong jarak diantara kedua mereka dari yang sedikit jauh menjadi dekat, sembilan orang dari mereka pun mengikuti, "kami hanyalah orang-orang rimba tuan, kami manusia," pintanya setelah kelompok itu sudah mengelilingi mereka bertiga, dengan dirinya tak lebih dari dua langkah jaraknya dari kuda Rex.
"Mmm, begitu ya," respon Rex tenang.
"Ya, betul begitu, tuan," balasnya dengan senyuman.
Senyuman dingin.
Senyuman manis racun.
Kondisi itu tetiba berubah saja, sepuluh orang itu sudah begitu dekatnya dengan mereka bertiga, melingkari mereka semua, tiga di Eira, tiga di karakter ketiga, dan tiga tambah satu di Rex. Semua dengan senyuman manis racun, senyuman yang miring, senyuman orang dengan niat terselubung.
"Baiklah, senang mengenal anda, tuan," ucap Rex sembari memacu kudanya, "mari kita lanjutkan perjalanan kita," perintahnya kepada Eira dan karakter ketiga.
"Wah—wah, tunggu dahulu, tuan," ajak pria berjenggot itu, "tak sopan pergi tanpa menikmati sambutan, tuan," sahutnya sambil menghadang kuda Rex.
"Mungkin untuk lain kali ya, tuan-tuan yang terhormat," tolak Rex halus, "dan bila tuan mengizinkan, kami ada urusan yang harus diselesaikan."
"Mari kita berbincang untuk sementara, tuan," minta pria berjenggot itu, "seperti yang saya bilang, kami itu orang-orang rimba, kami jarang sekali bertemu dengan dunia luar, barang sedikit bertukar berita tak bisakah?"
"Ingin saya bertukar, tuan," Rex menjawab, "namun sayangnya, urusan kami sangat amat penting, kami tak ingin mengulur waktu."
"Oh—memangnya tuan hendak kemana begitu bergegas?" ia memiringkan kepalanya.
Rex berucap, masih di atas kudanya yang berambut emas, "Kami hendak ke Al-Bulan, tuan."
"Ooh—" pria berjenggot itu antusias mendengar, seakan belum pernah mendengar kata itu.
Namun.
"Kerajaan Al-Bulan, sangat jauh sekali tujuan tuan, tak mungkin seminggu sampai," responnya.
Aneh.
Bukankah ia bilang ia orang rimba, dan jarang bertemu dengan orang luar? Entahlah, yang penting Rex dan dua tentara Rosanguis itu bisa melanjutkan perjalanan mereka.
"Betul, tuan," Rex membenarkan perkataan sang pria berjenggot, "kalau begitu kami pamit dulu."
"Ah—tunggu dulu, tuan!" jerit sang pria berjenggot, menghalangi jalan kuda Rex.
Kudanya terkaget, nyaris naik, namun berhasil ditahan oleh Rex.
"Mohon maaf, tuan, tapi saya sedang ada urusan penting, dan saya mohon kepada tuan untuk minggir," perintah Rex, nadanya tak lagi merendah, sudah mulai tegang.
"Saya tidak bermaksud jahat, tuan, tapi saya hanya ingin memberikan nasihat," sang pria berjenggot beralasan.
"Kalau begitu silahkan, tuan, tapi saya meminta agar anda tidak mengulur-ulur waktu saya."