"Mengapa engkau menghela, Melati?"
Rex Maximillian, sang penunggang kuda berambut emas khawatir dengan wanita yang menuntun kudanya maju, melangkahi akar-akar pohon besar yang mungkin saja menjatuhkan dirinya bersama dengan tunggangannya.
"Hamba merasa sedikit kecewa, paduka..." helanya sambil menundukkan kepala.
"Mengapa begitu?" tanyanya.
"Hamba kira hamba akan melawan musuh-musuh yang kuat, yang sangat ditakutkan sampai tentara Deus pun tak ada yang berani melawan," ucapnya sambil menarik otot bisepnya, menggambarkan sosok berotot dan perkasa, "tapi yang hamba lawan tak lebih dari cacing-cacing tanah yang mencoba untuk menjadi ular."
"Mmmm," gumam Rex, "semudah itukah? Aku kira melawan sepuluh orang perampok itu tak mudah?"
"Yah, memang tak mudah untuk orang biasa, paduka. Perlu diingat hamba adalah seorang laskar Rosanguis, laskar yang membantu paduka dalam mengalahkan Raja Setan dan komplotannya, bila kita tak kuat, tidak mungkin bagi kita untuk masih bisa hidup di tempat ini."
Pastinya kita akan disuruh untuk menjadi sel—
"Hush," Rex mendiamkan, "cukup di situ saja, Melati."
Melati mendengarkan, dan melaksanakan perintahnya, mulutnya dijahit setelah mengucapkan satu hal lagi, "Maafkan hamba, paduka."
"Tapi," lanjut Melati, "mengapa mereka itu mau mencari korban di dalam rimba Arkian, rimba itu kan jarang dilewati, kesempatan mereka lebih baik kalau mereka memilih jalur Tarea, lebih banyak orang yang lewat di sana."
Eira memotong pendapatnya itu dengan pendapat dirinya sendiri, "Kau lupakah? Jalur Tarea sudah diamankan oleh Deus dan kerajaan-kerajaan lainnya, itu akan menjadi pilihan bunuh diri bila mereka mencoba untuk merampok di sana, apalagi dengan kekuatan hanya sepuluh orang," ucapnya dengan dingin.
"Ya aku tahu itu," balas Melati, "tapi kesempatan mereka untuk sukses jauh lebih besar bila mereka merampok di Tarea dibandingkan dengan rimba Arkian. Kalau di sana mereka paling-paling hanya akan dicebloskan ke dalam penjara, atau mungkin mati di tangan para tentara, tapi itu lebih baik daripada mati diterkam binatang buas atau mati kelaparan di sini."
"Idemu ada betulnya juga, Melati," Rex meneruskan, "tapi bukankah lebih baik untuk tidak memberikan saran bagi para calon perampok di luar sana?" tanyanya dengan nada tenang.
"Maksud paduka?"
"Hanya peringatan saja."
"Oh—"
"Ya."
"Baik, hamba mengerti."
"Omong-omong, hamba dengar jalur Tarea sekarang sudah dilengkapi dengan kapal-kapal bagi mereka yang ingin ke Merissa, naik kapal Deus tentunya, hamba ingin sekali-kali mencoba," Melati mengajak.
"Haha," tawa kecil Rex keluar dari mulutnya, begitu juga dengan balasannya, "Mungkin lain kali yah, Melati, misalkan kita memang ada urusan di sana, tapi untuk sekarang, kita masih fokus dengan tanah Reol dahulu."
"Hamba mengerti, paduka, maafkan kelancangan hamba."
"Tak usah begitu, bagus mendengar keinginanmu," Rex mencoba untuk menenangkan, "sekarang karena aku sudah tahu kau mau ke sana, bagaimana dengan sebuah misi? Kudengar banyak pemberontak yang mau menyerang Deus. Bila kau mau, silahkan."
"Hamba menghargai tawaran paduka, hanya saja hamba sedang dalam misi, dan hamba diperintah untuk tidak meninggalkan misi itu hingga tuntas."
"Misi apa itu, bila aku boleh tahu, Melati?"
"Untuk menjaga raja Deus, Rex Maximillian, dalam perjalanannya menuju kerajaan Al-Bulan."
"Siapakah yang memberimu misi itu, Melati?"
"Paduka hamba," tangan kanan melekat di tengah dada, Melati berbicara dari hati, "raja Deus, Rex Maximillian."