Enam ribu.
Enam ribu kata adalah panjangnya pengalaman Melati melawan musuhnya.
Demi sedikit kejelasan, akan dijelaskan siapa saja yang berperan di dalam adegan ini.
Panggungnya adalah Rimba Arkian, rimba yang terkenal besar dan seringkali menyesatkan siapapun yang memasukinya.
Para pemainnya terdapat sebelas orang, sepuluh tambah satu.
Sepuluh orang penyerang.
Satu orang penyerang.
Berikut rincian mereka.
Dari sisi perampok, dua pemeran pertama.
Seorang lelaki dengan jenggot subur yang menyatu dengan kumis di bagian ujung bibir dan memanjang dari kuping hingga dagu, juga dengan aksen aneh ketika ia berbicara, kulitnya berwarna hitam legam, kemungkinan dari sengatan matahari yang terlalu lama, ia didampingi oleh putranya, yang tak jauh kalah legamnya, tentunya itu karena mereka sepasang ayah dan anak, senjatanya pula sepasang pedang panjang.
Lalu terdapat dua orang selanjutnya, satu berambut ikal, dan yang satu keriting tak karuan, yang ikal jauh lebih cakap dibandingkan dengan yang keriting, tapi itu tak jadi masalah karena mereka berdua akan dihajar dalam beberapa ratus kata, mungkin seribu bila tercapai, keduanya nyaris sama tinggi, tapi mungkin itu hanya ilusi, karena sendal yang dikenakan oleh yang keriting, yang ikal sama sekali tak memakai alas kaki, aneh juga bila ia bisa begitu, tapi mungkin ia dahulunya orang rimba, siapa yang tahu, siapa yang peduli juga?
Namun tentunya senjata mereka penting untuk diketahui, karena itu akan menentukan apakah mereka terbelah oleh senjatanya sendiri, atau terbelah karena senjata lawannya, mereka tak tahu, yang mereka tahu adalah mereka harus menyerbu dengan kedua golok yang mereka bawa dari entah mana mereka berasal, dan menggorok tenggorokan musuhnya, tak mungkin mereka pulang dengan luka-luka, mereka ingin pulang dengan harta yang baru mereka dapatkan dari tengah rimba.
Dua selanjutnya dari pihak penyerang ialah orang-orang bertutup kepala, keduanya dari bahan kain, yang satu sekedar mengelilingi lingkar kepalanya, dan yang satu menutupi seluruh bagian kepala, kain itu berbahan dan berwarna sama, putih, kontras jelas dengan kulit mereka yang legam karena panasnya sinar matahari, kalau dilihat lagi, pastinya mereka bukanlah orang rimba, dan dari ciri-ciri itu aku hanya bisa menyimpulkan bahwa mereka nelayan, atau mungkin perampok laut, atau mungkin dua-duanya, siapa tahu orang sejak dahulu sudah biasa memiliki dua pekerjaan sekaligus.
Nelayan di malam hari, dan perampok di pagi hari, tapi itu hanya asumsi, hanya sebuah hipotesis, belum bisa dibuktikan, dan kemungkinan untuk membuktikan itu sangatlah kecil, sama halnya dengan rumput hijau pendek yang akan rusak karena pertarungan mereka semua, pertarungan antar dua lelaki saja mampu untuk menghancurkan meja bar, apalagi bila terdapat sepuluh orang, pastinya efek yang dibawa akan dahsyat.
Namun, sekecil-kecilnya rumput itu, senjata kedua pria itu masih lebih besar, dan lebih tajam, mampu memotong batang-batang pohon yang berada di sekitarnya, karena senjata mereka adalah dua kapak besi bergagang kayu, panjang gagang itu pas dengan panjang kaki mereka.
Kemudian ialah dua orang bertopi caping layaknya petani, tak berbaju namun ditutup dengan sejenis jubah panjang yang melindungi bahu hingga ujung kaki, tapi tidak bagian dadanya, semua itu terlihat, betapa berototnya mereka, tapi juga betapa hitam kulitnya itu, alas kaki berwarna hitam menutupi kakinya yang terlihat begitu kurus, dua pasang mata mereka terhalang, dan mereka lebih memilih untuk memandang kaki-kaki orang, tak terlihat mereka memiliki senjata di dalam bagian tubuhnya, mungkinkah mereka pengguna sihir? Mungkin, orang macam apa yang akan merampok tanpa senjata, namun mereka berdua bukanlah akhir dari komplotan itu, masih ada lagi.
Dua orang besar, kedua orang hitam sisanya itu berubah jauh terlalu besar untuk kadar orang biasa.
Raksasa, mereka adalah raksasa, jauh lebih besar dari orang-orang Rugat. Taring-taring yang tak semestinya keluar, keluar, dan di lehernya terdapat sebuah kalung berbentuk tengkorak hewan, sihirkah? Mungkin.
Lanjut ke sisi lain.
Seorang penyerang seorang diri.
Sendiri.
Satu diri.
Ia memiliki banyak nama, namun itu hanya ada di dalam kepalanya saja, tak banyak yang mengetahui, demi privasi pribadi dan juga menyimpan rasa malu dari masa lalu yang selalu dikenangnya namun tak bisa diubah, semua itu hanyalah kenangan manis pahit yang hanya bisa diratapi dan disimpan rapat di dalam hati, tapi orang ini memilih jalan lain, ia memilih untuk menyimpan semua itu di dalam hati dan menggunakannya ketika diperlukan, sebuah alter-ego, sebuah pribadi lain, namun itu tetap dirinya dan ia mengetahui itu.
Bersamaan dengan semua ilusi dan delusi yang diciptakannya semenjak kecil, ia memilih untuk maju dan menjadi dirinya sendiri, tak ada yang berhak untuk mengkritik, karena itu adalah jalan hidup yang dipilihnya, dan jalan hidup ia adalah menjadi seorang prajurit, seorang laskar khusus, seorang mawar darah, seseorang yang bersimbah darah, seseorang yang berhasil mengalahkan jenderal setan, dan mencuci rambutnya dengan darah yang pernah mengambil kedua orangtuanya.
Rambut panjang, lurus, dan indah, pancaran Dewi Malam akan mencerahkan langit, dan rambut itu akan merefleksikan cahayanya, merubahnya menjadi warna batu rubi merah yang mengilap, namun malam hari belum datang, dan ia harus menutup kepalanya dengan tudung jubah, melindunginya dari sinar matahari yang mampu membuat orang-orang yang lemah pingsan.
Namun itu tak perlu dilakukannya karena Rimba Arkian adalah rimba yang lebat yang menghalang banyak cahaya matahari, karena itu ia melepaskan tudungnya, dan sebagian dari rambut indahnya itu terlihat. Merah darah segelap batu rubi merah yang tersimbah darah lama.
Itulah salah satu keistimewaan dari Sang Banyak Nama, meskipun namanya sendiri ialah Melati, kembang yang berwarna putih suci, dirinya bukan itu, dirinya adalah prajurit merah bersimbah darah.
Mungkin akan lebih cocok bila namanya Mawar, kembang merah semerah tali-tali tipis penuh minyak yang menggantung dari ujung kepalanya hingga bagian belakang pinggangnya, tapi yang mengetahui itu hanyalah padukanya, dan juga atasannya, Rex Maximillian, raja Deus, dan juga Eira, jenderal dari laskar Rosanguis, laskar khusus, laskar orang-orang pilihan, laskar yang membantu Rex dalam mengalahkan Raja Setan dan kroni-kroninya.
Berdiri tegak seorang diri untuk melawan para penyerang dengan jubah tebal berwarna coklat terang tercampur kusam bercak cairan dari ikan fingua yang diborongnya pagi hari yang lalu, dan karena itu pun ia berbau sedikit amis, namun itu tak jadi masalah, justru menjadi senjata pasif yang akan melemahkan semangat para penyerang, tapi senjata pasif tak akan membantu banyak bila ia tak memiliki senjata untuk dirinya sendiri.
Senjata itu digantungnya di bahu kiri dan miring ke kanan, sebuah tali diikatnya dari ujung atas dan ujung bawah senjata agar itu tak lepas darinya, meskipun ada sedikit ketidaksetaraan yang dapat membuat orang terheran, tali penahan itu berasal dari kulit, kulit kelas tertinggi yang dapat dicari, kulit dari kambing yang berasal dari Rugat, terkenal karena daya tahannya, namun tali kuat itu justru membuat senjata yang dimilikinya terlihat salah tempat, mungkin ia salah mengenakan tali, atau bahkan membeli aksesoris yang jauh lebih mahal dibandingkan senjata yang ia miliki, tapi hanyalah Melati yang mengetahui alasan dibaliknya, lagipula, itu senjata miliknya, tak ada yang berhak untuk mengkritik apa yang ia miliki.
Termasuk dengan figurnya yang besar, lebih tinggi dibandingkan Eira, tapi tak setinggi Rex Maximillian, bila mau diukur, ia akan mendapat urutan kedua di ukuran tinggi badan, tapi urutan nomor satu bila bermain di fitur fisik (bila kita mau ke ranah itu, hanya akan ada dua orang kontestan, Eira dan juga Melati, berhubung mereka berdua adalah perempuan, dan tak mungkin Eira akan mendapat peringkat pertama, jauh sekali jalannya bila ia mau menang dengan Melati yang saking besarnya) jubah tebal itu menonjol—bak gunung besar di tanah datar—jelas di bagian dadanya, itulah ciri fisik dan keutamaan fisik dari Melati, sang gadis putih suci berambut merah darah.
Karena kedua belah pihak telah dijelaskan.
Tak ada pilihan lain selain kita masuk ke bagian yang panjang.
Bagian yang panjang.
Tak sepanjang cinta orangtua yang tak ada batasnya.
Tapi sepanjang cinta anak yang sepanjang galah.
Apapun itu kasusnya, senjata Melati jauh lebih panjang.
Warnanya coklat.
Coklat gelap.
Lurus.
Keras.
Kuat untuk menahan dan menyerap momentum sang penyerang berpedang.
Keajaiban, mungkin.
Entah darimana, ia mampu menemukan bambu yang sebegitu kuatnya.
Tapi, kembali lagi, Melati hanya tersenyum melihat serangan musuhnya itu digagalkan.
Begitu mudahnya.
Begitu cepatnya.
Begitu tak dikiranya.
Melihat itu, pedang itu dicoba untuk memutar arah, ditarik ke atas, menuju leher kuda.
Alangkah saja memang begitulah kasusnya, memang itulah yang terjadi, namun sayang sekali, bukanlah itu yang terjadi.
Sedikit bodoh menurutku, mungkin ceroboh, mengapa pria jenggot itu tidak memilih untuk mundur, tapi tetap menyerang, tidakkah ia sadar bahwa ia sudah memasuki daerah serangan dari Melati? Bahkan ia tak berjarak selengan dari musuhnya ini, kurang dari itu, mungkin setengah lengan atau sepertiga, namun tetap saja, sangat ceroboh, dan ia membayar kecerobohannya itu tak murah, sangat tak murah, yang jelas pemikirannya mengenai wanita berubah sedikit—lagipula, wanita di zaman itu tak ada yang sepertinya.
Tapi perubahan pemikiran itu untuk nanti, mungkin setelah ia babak belur karena merendahkan musuhnya.
Sebuah dorongan fisik yang dibalut energi kinetik, ia didorong mundur dengan kepalan tangan Melati hingga cengkraman di kakinya itu tak lagi membantunya, segala macam tanah dan rumput tergesek olehnya hingga ia ditahan oleh putranya, mereka pun juga nyaris jatuh karenanya, tapi syukur sang putranya itu masih bisa menahan—setidaknya untuk sekarang.
“Apa yang kau lakukan hah!?” teriaknya naik pitam, urat lehernya kian mengeras, “Ini adalah pertarunganku dengan dia! Apa hak kau ikut campur!?”
Matanya melotot, ia jelas marah, kesetanan kalau orang bilang, suaranya menggema di batang-batang pohon hutan.
Namun, Melati hanya tersenyum, diucapkan olehnya.
Dengan tenang.
Dengan senyuman dan mata yang terhalang rambut merahnya.
“Maafkan kelancangan saya, tuan-tuan yang berbahagia, tapi saya akan—”
Ucapannya belum selesai.
Tapi layaknya perang.
Tak ada tempat untuk berbincang.
Hanyalah senjata yang akan berbicara.
Dan sebuah pisau kecil memberikan opininya untuk membungkam salah satu mata Melati.
Tch.
Melati tak mengerang kesakitan.