“Sekarang.”
Sekarang, ucap Melati.
Dua orang lagi.
“Sudah siapkah anda, tuan?”
Tanya sang gadis bertongkat merah darah.
“Atau tuan ingin mengalah di sini? Melarikan diri, bila tuan mau, maka silahkan, saya tidak akan menghalang-halangi. Toh, kita sudah tahu bahwa tuan tak akan bisa menang melawan.”
Oh, maaf, ini bukanlah tempat untuk berbicara.
Dengan itu, ia pun menghilang sekali lagi.
Di belakang.
Di depan.
Di belakang sepasang ayah dan anak, dan di depan padukanya.
“Maka, pilihlah, tuan, pilihan ada di tangan tuan.”
Itu adalah bisikan.
Bisikan yang berasal dari belakang, yang terlalu dekat, jauh lebih dekat daripada jaraknya tadi saat ia dihantam mundur.
Mereka, sang jenggot dan putranya berputar arah, dan dipersembahkan oleh sang Rambut Merah Darah itu sebuah tongkat.
Posisinya sama telak, bak mengulang adegan yang sama, menggunakan rekaman yang sama, hanya saja pergantian dari sisi penerima, sisi yang akan diterima nyawanya oleh Yang Diatas lebih tepatnya.
Keringat turun.
Sebulir, bulir air.
Meluncur pelan.
Bukan karena panasnya matahari.
Bukan juga panasnya kondisi.
Siapakah yang tidak berkeringat dingin ketika dijemput oleh kematian di depan pintu? Tak ada.
Itulah keringat dingin yang mengalir dari kening mereka berdua.
Kalau dilihat lagi.
Ya.
Kematian tak menjemput mereka.
Melati yang akan mengirimkan mereka ke sana.
Jasa hari sama.
Ekspres.
Tongkat itu pun dekat.
Terlalu dekat.
Nyaris mengenai targetnya.
Satu kesalahan gegabah, dan mereka akan mendapat bayaran yang tidak murah.
Keringat itu pun mengalir lagi.
Mereka bilang—di saat-saat terakhir hidup seseorang, mereka akan melihat seluruh hidupnya yang diulang dari awal, aku tak yakin apakah itu termasuk fakta atau sekedar rumor yang disebar mengenai kepercayaan akan kematian, aku maupun Melati tak melihat itu terjadi di satu orang yang gegabah, dua orang penyihir abal-abalan, satu orang pembelot, satu orang pemain licik, dan satu orang yang dipisahkan kepalanya dengan kekuatan fisika. Semua mati sebagaimana mestinya, tanpa ada adegan spesial ataupun flashback akan kehidupan mereka, mereka mati secepat kedipan mata. Begitupun apa yang akan terjadi kepada sepasang ayah dan putranya, mereka akan mati, dan tak akan ada orang yang mengingatnya, lagipula, ini Rimba Arkian, rimba yang tak dimasuki oleh orang-orang.
“Jadi,” simpul Melati, “bagaimana, tuan?”
Mau melawan dan kalah, atau melawan dengan sepenuh kemampuan?
Melati tak menyebutkan itu.
Sudah cukup jelas pilihan yang diberikan kepada mereka berdua tanpa harus diucapkan.
Dan mereka pun tahu jawabannya.
Setidaknya salah satu dari mereka.
Justru.
Justru sepertinya mereka ada sedikit perselisihan.
Perbedaan jawaban.
Perbedaan pemikiran.
Bersamaan.
Pedang itu digenggam, erat, uratnya terlihat jelas. Dua-duanya berada di tangan kanan, dan keduanya diangkat.
Diayun.
Dihunus ke depan.
Bisa dibilang—mereka berdua bermain licik.
Mereka mencoba untuk membunuh Melati tanpa pemberitahuan.
Tapi—kembali lagi, inilah peperangan.
Tak ada yang namanya adil.
Tak ada kesetaraan.
Tak ada pembedaan antara jenis.
Sesama lawan mencoba untuk membunuh, dan mencoba untuk tidak mati terbunuh.
Tapi.
Serangan itu digagalkan oleh tongkat Melati, layaknya kipas kencang yang menghadang segala macam serangan, diputar dengan tangannya sebanyak tiga kali putaran dengan kecepatan yang tak kasat mata, ujung-ujung dari pedang itu terhantam ke kiri dan kanan, lalu dengan sebuah dorongan penuh kekuatan, Melati mendorong mereka untuk memberi jarak, kekuatannya tak sebanyak ketika ia memenggal kepala pembawa golok, tapi cukup untuk membuat mereka mundur—dengan sang putra jatuh terpelanting dan berputar mundur.
“Seta!” teriak sang ayahanda melihat kondisi anaknya yang terpukul mundur oleh serangan sang Rambut Merah Darah. Yang dibalas dengan pandangan tajam yang diberinya, sebuah insting untuk menyerang, tapi ia menunggu untuk sebuah bukaan, sebuah kesempatan.
Matanya terbuka lebar, dan kepalanya mendadak menghentak, ia melihatnya, sebuah kesempatan. Tangannya kembali keras, gagang berlapis kulit itu ia dekatkan dengan telapak tangan, dan dikunci oleh jari-jemari, baik itu tangan kanan maupun kiri, dua-duanya bertengger di bagian bawah dari pedang bersisi tajam dua itu.
Mungkin layak baginya untuk berteriak, seruan perangnya dikeluarkan, tapi ia memilih untuk tidak melakukan itu, mulutnya dijahit rapat, dan rumput pijakannya tertarik hingga putus dari lantai tanah.
Tsing!
Mereka saling bertatapan, tajam, dalam, serius dalam niatnya untuk menghunus senjata mereka ke dalam tubuh masing lawan, itulah tatapan yang diberikan oleh sang ayahanda.
Jarak mereka tak lebih dari selengan, kedua senjata mereka saling berciuman, saling menahan dan menyerang di saat yang sama, mencoba untuk menjadi yang lebih unggul, namun Melati juga melakukan hal yang sama.
Pria itu dengan pedangnya, ujung belati yang miring sekitar 45 derajat dari postur tubuhnya yang tegak, dan Melati dengan tongkatnya yang berlawanan posisi namun tetap tegak lurus berdiri.
Pertarungan baru saja dimulai.
Tapi.
“Seta!”
Ia memanggil putranya.
“Kamu pergi dari sini!” perintahnya dengan keras, “tak mungkin kau akan bisa mengalahkan dia!”
Sebuah tugas yang sangat mudah, cukup berputar arah dan lari ke dalam hutan, tak mungkin seseorang pemuda yang sudah besar sepertinya tak mengerti itu. Ia hanya memberikan kesempatan untuk kabur, dan memerintahnya untuk mengambil kesempatan itu. Sebuah kesempatan dalam kesempitan.
“Cep—” ia katakan kata itu yang belum selesai, dan berubah haluan, “!”.
Disadari jelas olehnya bahwa ia telah dikirimkan kembali ke tempat asalnya, ia telah lengah dalam aksinya, dan ia diberikan hukuman sebuah tendangan mundur hingga ia sejajar dengan putra tersayangnya.
“Ini perang, tuan,” Melati mengingatkan.
Pesannya singkat.
Tapi maknanya bisa jadi berbeda, setidaknya ada makna lain yang Melati maksudkan.
Jangan berbincang.
Itulah arti dari pesannya.
“Tch! Dasar wanita brengsek!”
Balas sang ayahanda.
Tentu, tak hanya dengan ucapan. Ia kembali menyerang dengan kecepatan penuh. Dengan belatinya yang tertuju lurus, sebuah tusukan yang ia berikan, namun tak semudah itu untuk membunuh seorang prajurit Rosanguis. Masuk melalui rongga diantara tongkat dan tali pengikat, Melati mendorong semua momentum itu ke kanan yang membuat serangan itu salah arah, sungguh bodoh untuk memilih serangan yang begitu gegabah, ia gumam dalam hatinya, lalu memutar tongkatnya ke atas dengan tangan kanan sebagai titik putarnya, hingga bagian paling bawah tongkat itu memukul dagu sang pria berjenggot, ia pening dengan serangan itu, dan Melati mengirimkan dirinya kembali ke tempat asalnya.
Hanya saja.
Ada sebuah kesalahan.
“!”
Sesuatu yang berbahaya mendekatinya.
Ia sudah berhasil melewati titik lengah Melati.