Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #15

Aksi Melati: Serangan Akhir

Ada satu hal lagi yang ternyata kulupakan, aku lupa bahwa Melati masih menyimpan salah satu dari mereka—yang bersenjatakan kapak lebih tepatnya—di dalam kurungannya, aku minta maaf, kejadian sebelumnya terlalu seru sehingga aku lupa eksistensinya masih ada di sana, sebetulnya aku merasa kasihan ia harus melihat semua itu, tapi apa boleh buat, ini adalah perang, tak ada yang boleh mengeluh di kondisi seperti ini, siapa yang tahu ketika kalian sedang mengadu, tiba-tiba kepala teman kalian sudah menghilang, kan itu tak lucu, sama sekali tak lucu, tapi setidaknya ia mati cepat, hanya itu hal baik yang bisa kuambil dari kondisi seperti itu, tapi apa boleh buat.

Kembali lagi, itu berarti masih ada dua orang lagi yang menjadi musuh Melati.

Satu orang ayahanda berjenggot, dan satu orang berkapak yang terkurung layaknya hamster kecil.

Dua orang lagi, dua mayat yang masih berdiri.

Satu mayat masih menggantung di tongkat Melati.

“Sayang sekali, Mas, sepertinya jalan hidup Mas berakhir di sini, Adek ingin mengikuti Mas kemana pun Mas pergi,” tutur Melati pelan, mulutnya berada di dekat kuping anak muda itu, “sayangnya, kita masih belum menjadi suami-istri,” ia mengangkat tongkat itu tinggi, cukup tinggi hingga badannya itu turun, rahangnya mencium tangan putih yang mengenggam bagian atas tongkat, “tapi Adek berjanji, Mas.”

Diputar dan dilempar, sang pemuda itu lepas dari tongkat dan menghantam tanah dengan keras.

“Adek berjanji, kalau matinya Mas itu akan cepat.”

Itu adalah ucapan terakhirnya.

Dan dengan itu.

Ayunan terakhir diberi.

Sebuah hantaman keras.

Sekali kena—dan kepalanya tiada.

Musnah.

Ia menjadi dekorasi cat baru di jubah coklat Melati.

“Terima kasih, atas kenangan semua ini ya, Mas.” 

Cerita hidupnya berhenti di sini.

Mungkin akan menjadi legenda di lain hari.

Tapi siapa yang mau mendengar mengenai legenda orang yang dibantai karena perlakuannya?

Tidak ada—ia hanya akan menjadi pupuk tanaman.

Tak ada yang akan mengingatnya.

Ia akan menghilang.

Sangat memuaskan bagiku.

Bahkan aku tersenyum lebar mendengar itu.

Tapi sepertinya masih ada satu orang lagi yang tidak menerima teoriku itu, dan dia memilih untuk mengakhiri Melati—hah! Sungguh ambisi di atas langit!

Ia tak banyak cakap, tapi langsung turun ke bisnis, belatinya itu dihantam begitu kuat dan cepatnya hingga angin pun terpengaruh oleh serangannya itu, tapi dengan mudahnya serangan itu ditahan Melati dengan tongkatnya, “Ooo, langsung kah kita, baiklah, tuan,” tantang Melati. 

Dan pertarungan terakhir pun dimulai. 

Pertama, adalah sebuah tebasan ulang, pemutaran dari tangkasan yang dilakukan oleh Melati.

Pedang itu diputar ke kanan, hingga belatinya mencapai titik terbawah dan mendapat ruang untuk serangan, sebuah tebasan dari bawah menuju ke atas, targetnya: badan Melati, tapi sekali lagi, serbuan itu ditahan oleh Melati, ia memutar tongkatnya mengikuti pergerakan sang pedang. 

Dan begitulah adegan pertama dimulai.

Kemanapun pedang itu pergi, tongkat Melati akan mengikuti.

Berputar ke kanan, maka tongkat akan berputar ke kanan, ke kiri dan tongkat akan ke kiri, kemanapun ia pergi, tongkat itu akan mengikuti. 

Tapi.

Di setiap serangan, kekuatan itu semakin kuat.

Agresi—kemungkinan.

Siapa yang tak marah melihat anaknya dibunuh di depan mata?

Mukanya tengah kesetanan.

Lihat selengkapnya