.
.
.
“Hei.”
“Apa?”
“Kau terkejut ya?”
“…”
“Sedari tadi kau membungkam mulut, tak biasanya kau seperti ini.”
“…”
“Mhm—kau tak mau berbicara, baiklah…”
“Tidak.”
“Ya?”
“Aku hanya terlalu terkejut melihat ini. Kukira tak akan ada lagi orang yang ingin menggunakan hal seperti ini—masih ada orang yang mau melakukan ritual-ritual berbahaya itu.”
“…”
“Orang macam apa yang ingin memakan bangkai saudaranya sendiri, kau lihat sendiri tadi bukan? Melati sudah menghantamnya beberapa kali tanpa sepengetahuan orang itu, tapi ia tak merasakan apapun, seakan ia tak pernah disentuh.”
“Ya, aku juga melihatnya.”
“Memakan bangkai orang… Tak kupercaya ada orang yang mau melakukan itu…”
“…”
“Bangkai apa lagi yang kira-kira ia makan? Mayat pun tak masalah, tapi untuk memakan bangkai—sudahlah, aku lelah memikirkan ini.”
Kalau begitu, tak usah dipikirkan.
“Kau mengatakan sesuatu?”
“Tidak—aku hanya memikirkan sesuatu.”
“?”
“Paling—semua ini akan hilang seminggu lagi, walau aku agak skeptis, energinya juga cukup kuat.”
“Tak bisakah kau lakukan sesuatu? Ini pastinya akan menarik mahluk-mahluk lainnya.”
“Sayang, tak ada yang bisa kulakukan di sini, yah, kalau saja Anja masih di sini…”
“…”
“…”
“Bukankah begitu…?”
“Aku tak ingin membicarakan tentang orang itu. Aku mengerti mengapa orang itu melakukan itu, tapi aku sama sekali tak setuju dengan aksi orang itu.”
“…”
“Sudah pantas untuk orang itu mendapat nasib itu.”
“…Kadang kau bisa sedikit sadis, yah.”
“Aku sedang tak ingin melucu—jadi tolong jangan membual.”
“…”
“Mengerti? Atau aku harus mengulanginya agar kau mengerti?”
“Ya.ya, aku mengerti.”
“Bagus.”
“Tapi, bukankah itu aneh, siapa sangka ia akan jatuh ke sihir hitam?”
“Aku bukanlah orang itu, dan orang itu bukanlah aku, orang itu telah dikontrol oleh sihir hitam, dan itu adalah alasan yang ingin kuambil. Orang itu kalah dalam kekuatan hatinya, dan begitulah hasilnya.”
“Mmm… Bukankah alasan itu terlalu sederhana?”
“Tidak juga. Dan prajurit Rosanguis masih manusia, tak ada dari kita yang sempurna. Kita hanya memiliki kelebihan yang tak banyak orang miliki.”
“Mmm, kau sangat jujur sekali.”
“Karena itulah kebenarannya, untuk apa aku berbohong? Itu hanya akan memperburuk kondisi, dan tak mempermudah situasi.”
“Kau ada benarnya.”
“Karena memang itu benar.”
“Tapi… Sekarang kejadian yang terjadi itu sedikit masuk akal, tidak?”
“Mhm?”
“Kedua pedagang Gaul itu, yang mati di tokonya, Asterix dan Obelix.”
“Oh.”
“Ya.”
“Iya, masuk akal, tapi sihir apa?”
“Mungkin Leak? Organnya dibawa semua, entah apa yang dipikirkan oleh sang pembunuh ketika ia melakukan itu. Yang jelas, ia sudah melupakan kemanusiaannya saja.”
“Ia sudah jatuh.”
“Betul, jatuh ke dalam lubang ketidakmanusiaan. Tak ada lagi jalan keluar untuknya.”
Eira mengangguk, “Berarti ada sumber lain, harus segera kita cari itu.”
“Ya, akan kukirimkan surat nanti setelah kita sampai di Al-Bulan, kita harus segera bergerak. Tapi untuk sekarang, aku mohon kamu ingat bahwa misi kita adalah ke sana, prioritas kita masih itu.”
“Aku tahu itu,” tanggap Eira, “aku masih seorang prajurit, aku tak akan mengabaikan perintah.”
“Oh ya, sambil menunggu bagaimana kalau kita menebak kapan ia mendapatkan Leak ini?”
“Untuk apa?”
“Kita bisa menggunakan itu untuk referensi kapan sumber lain itu muncul, atau setidaknya bisa kita konfirmasi eksistensinya.”
“Oh—baiklah.”
“Baik, mari kita mulai.”
Eira mengangguk.
“Hmm… Ia sudah memiliki putra, dan dari jenggot dan keriput kulitnya mungkin ia sudah berada di atas umur tiga puluh.”
Eira terdiam, fokus mendengar.
“Sedang anaknya sendiri ini terlihat—mungkin sekitar belasan? Menurutmu berapa?”
Eira mendatangi bocah itu dengan rahang yang bolong, “Menurutku, sekitar lima belasan—atau mungkin tujuh belas.”
“Lima belas yah… Itu berarti umur sang ayah dikurang dengan sang pemuda, kita ambil tiga lima sebagai nilainya.”
Eira mengangguk.
“Tiga lima dikurang lima belas, itu berarti dua puluh, cukup normal untuk memiliki anak seumur itu.”
“…”
“Selanjutnya… Hmm… Sepertinya tak ada yang bisa kita dapatkan lagi.”