Kejadian aneh itu terjadi di atas kapal, sebuah pertemuan yang tak disangka akan berulang, ketika mereka berdua bertatapan—salah satu darinya langsung ingat, tapi itu setelah ia mendekap anaknya dengan kencang karena takut akan kehilangan.
“Ah—kamu,” ucap seorang wanita berkulit sedikit hitam dengan sebuah jilbab yang lebih hitam yang menutupi rambutnya, seorang anak kecil yang memegang kincir angin kecil berada di dalam pelukannya, ia ucapkan kata itu setelah memarahi anak itu karena seenaknya berkelana.
Sudah Mama bilang kamu jangan ke mana-mana! sang ibunda memarahi buah hatinya, dan dipukul pantatnya sekali untuk memberi hukuman, dan dari situlah ia mengucapkan, “Terima kasih.”
Sebelum ia berhenti tengah jalan—dan mengucapkan.
“Ah—kamu.”
Dari situlah, jenderal Rosanguis duduk di lantai kapal dengan punggungnya yang bersandar di tembok kayu.
“Tak kusangka aku akan bertemu denganmu di sini lagi. Aku berarti harus berterima kasih kepadamu lagi karena sudah mengembalikan anakku ini, terima kasih ya,” ucap ibu dari anak yang dibantu oleh Eira.
“Sama-sama,” Eira menanggapi dengan tenang.
“Tapi betul, tak kusangka kita akan bertemu lagi di sini,” lanjut sang ibu, “apakah kau ingin berlibur ke Al-Bulan kali ini? Tapi aku sarankan menjauh dari perbatasan, Raja Tsabit sedang senang-senangnya berperang.”
“Hanya berkunjung saja, ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di sana.”
“Bisnis kah? Seperti terakhir kali?”
“Bisa dibilang begitu.”
“Eeh—begitu yah.”
“Iya.”
“Oh ya,” sang ibu membuka topik baru, “ada sebuah restoran enak di sana, berbeda dengan yang terakhir kali aku sarankan, namanya aku lupa, tapi ia dekat dengan pantai, makanannya enak, dan tempatnya nyaman, bahkan Tsabit senang sekali terakhir datang ke sana.”
Betul kan, Tsabit? tanya sang ibu kepada anaknya.
“Tabit mau makan ikan fingua lagi! Enak!”
“Iya, nak, nanti kita bisa makan di situ lagi.”
Ucapannya terdengar hangat, tapi entah mengapa ada sedikit kesedihan di dalamnya, ia mengelus kepala anaknya itu yang tengah berada di dalam pangkuan ibunya.
“Kalau aku boleh tahu, mengapa engkau ke Al-Bulan?” tanya Eira.
“Aku ingin pulang kampung, aku juga ingin mengenalkan Tsabit kepada kakek-neneknya.”
“Bukankah kau sudah melakukan itu terakhir kali kau ke Al-Bulan?”
“Aku tak sempat, ketika aku datang, ternyata Ayah dan Bunda tengah perjalanan menuju Rugat, jadi, aku hanya bisa beberapa hari menginap di sana, sanak-saudara pun juga banyak yang telah pergi.”
“Suamimu? Dia ikutkah juga?” Eira melontarkan sebuah pertanyaan lagi.
Hanya saja, jawabannya adalah suatu hal yang ia tak kira.