Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #20

Dua Bulan.

Dua bulan yang lalu.

Aku masih ingat jelas apa yang terjadi dua bulan yang lalu.

Di saat itu, Eira, Melati, dan juga Rex Maximillian tengah berkunjung ke Kerajaan Al-Bulan, hanya saja, mereka tak melewati Rimba Arkian di saat itu, mereka melalui Jalur Tarea, jalur dagang terbesar yang dijaga oleh semua kerajaan di Tanah Reol, karena tanpanya, seluruh perekonomian dapat runtuh begitu cepatnya. 

Bisa kubilang bahwa memang sedikit aneh, mengapa mereka memilih untuk melewati Rimba Arkian daripada melalui Jalur Tarea, memang itu akan memotong sedikit jarak, tapi tak sesignifikan itu hasilnya, paling-paling hanya satu sampai dua hari, risiko yang harus mereka hadapi bila melewati Rimba itu jauh lebih besar dibandingkan hanya bermalam satu sampai dua hari. 

Namun, pada akhirnya mereka masih satu tujuan, sebuah pelabuhan besar yang sangat sibuk di bawah Kerajaan Cisshot, namanya adalah pelabuhan Bao, pelabuhan di mana mayoritas barang dagang masuk, termasuk ikan fingua yang diekspor dari Kerajaan Al-Bulan, kerajaan tujuan dua orang prajurit Rosanguis, dan juga satu orang lelaki. 

Disitulah Eira bertemu dengan seorang perempuan bernama Farah, perempuan yang memiliki anak bernama Tsabit, perempuan yang sama yang ditemuinya kedua kalinya ketika mereka berada di satu kapal menuju kapal.

Sejarah memiliki kecenderungan untuk mengulangi dirinya, dan bagaimana mereka bertemu di saat itu sama telak dengan bagaimana mereka bertemu kedua kalinya. 

Bocah bernama Tsabit itu menghantam kaki Eira yang tengah mengukir, ia menangis, Eira pun memberinya sebuah mainan untuknya agar ia tenang, dan ibunya yang bernama Farah itu memanggil putranya, di saat itu suaminya masih hidup, tapi ia juga tak ada di pelayaran hari itu. 

Disitulah Eira mendapat rekomendasi sebuah restoran yang cukup terkenal darinya, dan tak banyak yang terjadi setelahnya. 

Tak lama kemudian, atau karena aku yang tak memiliki rasa betapa cepat maupun lambatnya waktu berlalu, mereka sudah turun dari kapal.

Tibalah mereka, di Kerajaan Al-Bulan.

Kerajaan, yang istananya terlihat bahkan dari ujung dermaga, dengan kubah berbentuk bulat dan pilar-pilar tinggi untuk berbagai macam meriam dan busur silang raksasa yang melindunginya. Di tengah siangnya hari, para pendatang dapat melihat pancaran emas yang disinari oleh matahari, yang dipantulkan oleh kubahnya bulat itu yang berbahan emas murni, tapi itu hanya yang terlihat di kejauhan saja, masih ada banyak keindahan yang dapat dilihat dari jarak dekat.

Langkah pertama pun mereka ambil, dan mereka sudah disambut jembatan yang memisahkan dermaga dengan bagian pelabuhan itu sendiri. Itulah salah satu keistimewaan Al-Bulan. 

Kerajaan dengan seribu jembatan, karena pulau-pulau kecil yang banyak dipisahkan oleh sungai-sungai kecil juga.

Jembatan kecil kedua mereka ambil tak lama kemudian, yang memisahkan pelabuhan dengan bagian ujung kota, sebuah jembatan turun yang menjadi pintu utama benteng besar dari batu yang juga melindungi kerajaan Al-Bulan dari invasi luar. Tembok-tembok itu terasa megah, dan tebalnya juga tidak bisa dipertanyakan, mungkin lebarnya sekitar tiga ekor kuda yang dijejerkan, tapi dibandingkan dengan kerajaan Deus, ini tidak ada apa-apanya.

Memasuki daerah pasar, banyaknya pedagang yang berjualan di kios-kios mereka sendiri. Susu kambing Rugat, barang-barang murah Cisshot, batu-batu pertama Gaul, dan tentunya ikan fingua khas Al-Bulan yang menargetkan para turis pendatang.

Penjual-penjual itu memiliki kios-kios yang indah, dan tentunya juga dengan ikan-ikan yang indah, itu juga artinya dengan harga yang tidak murah, target mereka memanglah turis yang berkantong tebal.

Jalanannya pula dibuat sebagus mungkin, diperhalus dengan berbagai macam batu, dan sebuah garis besar yang terbuat dari batu putih yang mengarahkan mereka ke pusat kota untuk menambah keindahan dari Al-Bulan, sebuah bentuk fasilitas kota yang diambil dari Deus.

Melewati daerah itu, mereka harus menyebrang sebuah jembatan lagi, jembatan batu yang bercampurkan dengan tiang-tiang besi ornamen-ornamen berbentuk bulat khas Al-Bulan, tapi bukan itulah yang menjadi pusat dari Al-Bulan. 

Ditengah kota, sebuah bangunan besar yang berwarna putih dengan balutan emas yang menyambut para pendatang dengan kemegahannya, inilah pusat perekonomian untuk Al-Bulan, sebuah kompleks besar yang diisikan berbagai macam hal, baik itu sayur-mayur, daging, perhiasan, semua yang diperlukan berada di dalam sana, dan tak hanya itu saja. 

Di depan kompleks itu, rangkaian batu-batu indah dan batu berwarna membentuk lambang Kerajaan Al-Bulan, dan di atas itulah sebuah api unggun raksasa dinyalakan setiap malam, agar tempat itu selalu terang, dan juga sebuah tanda kemegahan dengan caranya sendiri. 

Lihat selengkapnya