Putri Rias Al-Bulan, lebih dikenal sebagai Putri Al-Bulan, putri semata wayang dari Kerajaan Al-Bulan, putri semata wayang dari Raja Tsabit.
Dikenal sebagai orang yang penyayang, penyabar, halus tutur kata dan juga sikapnya, seorang putri yang masuk di dalam sepuluh putri terbaik di tanah Reol.
Banyak yang diketahui mengenai dirinya, rumor-rumor yang sering bertenggang mulut, berpindah kuping, kata “katanya” selalu mengikuti kemanapun dirinya selalu diungkit di dalam pembicaraan.
Kebanyakan tentang bagaimana sikapnya itu yang sangat halus, dan juga beberapa hal lain yang membuatnya seorang putri yang baik, tapi tak ada yang pernah mengungkit mengenai orangnya sendiri.
Banyak yang mengetahui Putri Al-Bulan, tetapi tak ada yang mengenalnya dengan baik. Bahkan rumor-rumor itu tak pernah mengungkit bagaimana diri Putri Al-Bulan.
Bagaimana rupanya, tingginya, lekuk tubuhnya, semua itu tak pernah keluar—atau lebih tepatnya, tak ada yang mengetahui.
Karena itu, orang-orang awam hanya mengetahui halusnya saja, dan membuat angan-angan gambaran berdasarkan sikapnya saja.
Tentu mayoritas akan membayangkannya sebagai seorang putri cantik, beberapa membayangkannya dengan rambut hitam panjang, beberapa membayangkannya dengan rambut pirang, layaknya ibu dari Putri Al-Bulan.
Namun, tak semua gambaran itu sama, dan beberapa ada yang sedikit curiga akan reputasi ini yang berterbangan di kepala orang-orang, beberapa mempercayai bahwa Putri Al-Bulan adalah seorang putri yang buruk rupa, dan karenanya, Raja Tsabit tak pernah menunjukkannya ke muka umum, malu akan anaknya sendiri itu, tapi tak banyak yang diketahui mengenai Putri Al-Bulan, orang-orang menganggapnya sebagai putri cakap sikap dan juga cakap rupa, seorang putri yang bisa saja masuk ke dalam daftar sepuluh putri cantik dari Kerajaan Al-Bulan.
Tak disangka oleh Melati, seorang prajurit wanita, ia akan mendapatkan kesempatan menjadi salah satu dari orang-orang yang dapat mengenal Putri Al-Bulan.
“Hei.”
“Mm?” balas Eira dengan sedikit geram.
“Kau pernah melihat Putri Al-Bulan, bukan?”
“Tidak, aku belum pernah melihatnya.”
“Yang benar saja, bukannya kau dahulu putri kerajaan?”
“Itu dahulu, dan sudah kubilang, jangan kau ungkit-ungkit itu lagi, terutama di sini.”
“Tapi masa iya kau belum pernah bertemu dengannya? Bukankah—”
“Kerajaan Al-Bulan dahulu tak ada, kau masa tak ingat?”
“Oh iya, kau ada betulnya.”
Eira melihatnya dengan pandangan sinis, bukankah kau yang paling mengetahui di sini? ucapnya dalam hati.
“Tapi, kau pernah membayangkan dia akan seperti apa kan?”
“Untuk apa aku melakukan itu?” bantah Eira, “Lebih baik untuk kita tidak memiliki ekspektasi tinggi agar kita tak kecewa ketika melihat pertama kali.”
“Kamu betul,” Melati mengangguk, “tapi masa iya kau tak punya ekspektasi sedikitpun? Ini Putri Al-Bulan loh, satu-satunya putri di Reol yang tak pernah menunjukkan mukanya.”
“Hush—sudahlah,” Eira menghentikan percakapan itu, “lebih baik kita bersedia, ingat apa yang kita lakukan di sini.”
“Baik…” jawab Melati lemas, tapi langsung meninggi baik energi dan semangat, mengakhiri percakapan itu ia menjawab dengan jelas dan tegas, “Jenderal.”
Dengan begitu, Melati merajut bibirnya rapat, dan berdiri tegak dengan sebuah tongkat bambu tua berwarna coklat yang diselempanginya di bahu kiri, memperhatikan sang putri yang menjadi tugasnya semenjak Rex Maximillian dan Raja Tsabit berbincang empat mata di tempat lain.
Karena itulah, Melati menjadi salah satu orang yang mengetahui dengan jelas dan benar, siapakah Putri Al-Bulan yang sering dibicarakan orang.
Satu-satunya putri yang tak pernah ditunjukkan di khalayak ramai.
Tak salah sih, bila dibilang putri ini putri yang baik, ia tak segan-segan menawarkanku dan penjaga lainnya bunga petikannya, tapi bagaimana yah, ada sih ekspektasi yang kupasang, dan sepertinya Jenderal benar, aku tak semestinya memasang harapan itu setinggi itu, tapi dari rumor yang kudengar saja—pastinya minimal ia seperti itulah…
Yang katanya pintar, penyayang, ramah, sopan tingkah laku dan tutur kata, minimal cantik lah! Buktinya saja Raja Tsabit tak begitu buruk, mungkin bisa dibilang cakap. Lihat saja jenggotnya tadi, tak panjang, tapi tak juga tipis, cukup ukurannya. Ditambah dengan kulitnya yang sedikit hitam itu, tak salah bila ia masuk dalam daftar raja yang ganteng.
Tapi—dengan tampang seperti itu, pastinya ia akan cakap—kan? Buah tak jatuh jauh dari pohonnya—kecuali… Lebih baik aku tak memikirkan itu. Bisa bahaya hasilnya, justru malah aku tak semestinya membayangi seperti ini, misalkan saja ada pembaca pikiran disekitar sini, pastinya aku akan diburu terlebih dahulu karena sudah mengetahui hal ini dan menjadi sumber masalah yang bisa saja membawa masalah ke Al-Bulan.
Yah, kalau dipikir lagi, lebih baik aku diam saja, bahaya bila ada orang yang tahu tentang pikiranku ini, yap. Ikat mulutmu itu dan diam—dan dengan ini Melati keluar.
Sudah terlalu terlambat—Melati.
Aku sudah mengetahui segalanya.
“Ada yang salah kah? Maximillian?”
“Oh—tidak, tidak ada apa-apa.”
“Betulkah itu?”
“Aku sehat-sehat saja, Raja Tsabit, dan sampai mana kita tadi?”
“Mengenai putri saya, Al-Bulan,” Raja Tsabit mengangkat gelas yang terletak di mejanya, “sekarang giliranmu,” ucapnya sebelum meminum cairan yang berada di dalamnya.
“Baiklah,” balas Rex. Sebelum memulai gilirannya, ia memantau cepat kondisi papan dari ujung ke ujung, atas ke bawah, kiri ke kanan, dengan sebuah rencana yang dibuat di kepalanya, ia memindahkan patung berbentuk kepala kuda dua langkah ke depan dan satu langkah menyerong ke kanan, menghadang patung kecil berbentuk prajurit milik Raja Tsabit.
“Giliranmu, Raja Tsabit,” ucapnya sembari mengakhiri gilirannya.