Kali itu, Melati berpikir bahwa perjalanan kali ini adalah perjalanan yang mudah.
Tak banyak masalah, tak banyak perselisihan, mulai dari keluar gerbang hingga sampai masuk ke gerbang.
Betul, perjalanan dua bulan yang lalu itu tak banyak rintangan.
Semua terlihat begitu normal.
Semua terlihat begitu aman.
Tapi mengingat tujuan mereka di sini, itu hanyalah harapan kecil yang dienyam di dalam hati kecilnya.
Untung sih, enggak banyak masalah kali ini, jadi enggak banyak orang yang mati juga, gumamnya di dalam hati.
Tapi, misalkan aja, kita dirampok di Jalur Tarea, pastinya itu akan jadi hal yang buruk. Tentunya akan ada orang-orang yang menjadi korban.
Tapi, tentunya sebelum yang merampok itu bisa beraksi, tentunya pasukan penjaganya akan segera maju. Pastinya mereka akan dipangkas habis sampai tak ada lagi yang tersisa.
Tapi, seru enggak sih? Misalkan saja aku di letakkan di Jalur Tarea untuk pengamanan. Sungguh enak, aku bisa mandi dan melatih diriku dengan Parasuh Vidya tersayang.
Mata kapak besarnya yang bisa kugunakan untuk memotong.
Mata pasaknya yang melengkung kugunakan untuk menggorok.
Dan mata tombaknya yang panjang dan tajam kugunakan untuk menusuk.
Sangat indahnya.
Mungkin aku bisa menari bahagia di tengah medan peperangan.
Seperti saat itu.
Seperti ketika aku melawan para jenderal setan itu.
Sangat menyenangkan.
Tapi…
Itu artinya aku tak akan bersama padukaku.
“Dia tak sebaik itu!”
Heeh—kau muncul lagi.
“Aku tak akan pernah menghilang!”
Kan sudah kubilang, kau duduk manis saja dan nikmati gambaran yang kuberikan.
“Manis!? Kau sebut pembunuhan itu manis!?”
Mengapa engkau malah marah? Memang itu manis, darah mereka manis.
“Kau… Aksi kau akan dibayar suatu saat nanti.”
Lanjutkan saja ocehanmu itu, nona. Kau tahu kondisi sekarang seperti apa.
“Seharusnya aku tak pernah mempercayai si Maximillian itu.”
Mmm… Mm… Teruskan.
“Ia makhluk bangsat! Ia lebih buruk dari setan!”
Yah, sepertinya sudah sampai situ saja kau mencemooh padukaku.
“Padukamu itu adalah cerminan setan! Ia lebih buruk daripada Raja Setan!”
Seberapa yakin teorimu itu, nona? Padukaku tak memiliki dosa.
“Dusta!”
Aku tidak dusta, memang itulah kebenarannya.
“Ia mengurungku di sini! Ia mengambil hakku untuk hidup!”
Padukaku tidak mengurungmu, nona. Nona salah paham. Padukaku hanya menjagamu agar kamu tak ditargetkan oleh orang-orang jahat.
“Dan dengan itu kau bisa seenaknya menggunakan tubuhku!?”
Aku hanya melaksanakan tugas yang diberikan kepadaku, nona, tak lebih dari seorang prajurit yang mengikuti perintah jenderalnya.
“Semua perintah itu biadab! Kau rela membunuh orang!”
Orang-orang biadab akan selalu ada, nona. Kalau kita tak beraksi, maka kita akan terbunuh duluan.
“Kau menggunakan tanganku untuk membunuh ayahku!”
Anda masih salah paham juga, nona. Aku tidak menggunakan tanganmu untuk membunuh ayahanda tersayangmu itu. Kau lupakah aku siapa?
“…”
Jadi kau masih belum mau menerima, baiklah.