Di bagian inilah, seluruh cerita “Sang Penipu & Pembohong” berakhir.
Pencarian Rias: Kehancuran Al-Bulan
“Hah!”
Seruan itu memecah konsentrasi mereka yang berada di atas kapal, termasuk Eira dan juga Farah, ibunda dari bocah yang secara tak sengaja bertemu lagi semenjak perjalanan yang mereka lakukan dua bulan yang lalu.
“Al-Bulan sudah tak ada lagi, nona!”
Lanjut seruan itu.
Eira mengganti fokusnya—pandangannya dibuang ke arah suara.
Tapi.
“Boleh dijelaskan lebih rinci lagi, Pak Tua?” tanya Rex Maximillian dari belakangnya.
Ia, bersama Melati muncul dari sebelah Eira, dengan Rex berdiri menghadap sang orang yang berseru, sedang Melati berhenti di samping Eira yang tengah terduduk.
Pak Tua itu melirik dari sudut matanya, lalu duduk menghadap Maximillian, sebuah pipa rokok menggantung di bagian kanan bibirnya yang terdapat luka sayat bersama dengan asap yang keluar dari ujungnya terbang naik ke atas, “Kerajaan Al-Bulan sudah hancur, nak! Dihancurkan oleh sihir hitam yang dibawa oleh rajanya sendiri! Salah sendiri orang itu bermain dengan sihir hitam!”
“Bukankah sihir hitam sudah tak ada, Pak Tua?”
“Yang mengatakan bahwa sihir hitam itu sudah tak ada itu sesat, nak!” seru Pak Tua lagi, diisap pipa itu sebelum ia lanjut, “sihir hitam itu masih akan ada, mungkin di saat hari penghancuran, sihir hitam itu akan hilang.”
“Mungkinkah Pak Tua yang kurang mendapat informasi? Setahu saya, sihir hitam itu sudah hilang, dihilangkan oleh Rex Maximillian.”
“Hah! Maximillian,” dipegang pipanya itu dan diarahkan moncongnya ke arah Maximillian, “orang itu hanyalah dusta, nabi palsu kalau aku berani bilang. Dia tak jauh berbeda dengan Raja Setan yang menguasai tanah ini.”
“Mengapa anda bisa berkata itu, Pak Tua?”
“Karena,” Pak Tua itu melanjutkan, sesudah menghirup pipa rokoknya yang berasap lalu ditiup keluar, “karena sihir hitam itu berasal dari kejahatan dan niat buruk manusia, sampai kapanpun, sihir itu tak akan mati—berani aku bilang, sihir itu akan menghilang ketika tak ada lagi kejahatan, kepahitan, kesengsaraan, ketidakadilan, ketidaksenangan, dan tentunya hal-hal yang membuat hidup kita terasa lebih berat daripada seharusnya.”
Tapi kalau begitu, artinya juga kita juga akan menghilang, betul bukan? Pak Tua itu tertawa kecil.
“Tapi, bagaimana mungkin bisa sihir hitam itu menghancurkan Al-Bulan, bukankah kerajaan itu kerajaan yang kuat? Mereka mampu berperang nyaris setiap bulannya.”
“Kau tak salah, anak muda,” Pak Tua itu mengangguk, “tapi karena perang itulah—mereka jatuh. Kau kira semudah itukah menyusun tentara sebegitu banyaknya, dan dalam waktu yang sangat singkat. Aku percaya memang, rajanya sendiri, Raja Tsabit paling tidak memiliki semacam pertalian dengan sihir itu.”
“Apakah anda memiliki bukti mengenai itu, Pak Tua?” tanya Rex Maximillian datar.
“Saya tidak memilikinya, karena itu hanya sebuah teori nak, tak lebih dari hipotesis, hanya sebuah tebakan.”
“Tebakan yang sangat berbahaya… Pak Tua.”
“Ya,” ia tersenyum, “memang tebakan yang sangat berbahaya, tapi anda tentunya tak akan mempercayai kata-kata yang dikeluarkan oleh lelaki tua ini yang hanya sibuk merokok di atas kapal, kan?”
“Anda tidak salah, Pak Tua,” Rex menyetujui, “hanya saja, tujuan kami itu ke kerajaan Al-Bulan, dan tentu sangat mengejutkan bagi saya untuk mendengar berita bahwa Al-Bulan telah runtuh, boleh saya meminta informasi tambahan mengenai itu?”
“Ah… Ya, mengenai Kerajaan Al-Bulan,” Pak Tua itu menghantam pipa rokoknya, membersihkan bakaran yang sudah menjadi abu dan menggantinya dengan isi baru, “aku dengar memang, kerajaan itu sudah hancur, dihancurkan oleh sihir hitam,” ucapnya sambil mencoba untuk menyalakan pipa rokoknya itu.
“Bagaimana anda bisa tahu bahwa sihir hitamlah yang menghancurkan mereka, dan bagaimana anda bisa tahu bahwa Al-Bulan telah hancur?”
“Kabar burung, nak, bukan kabar burung yang tersebar dari kuping ke kuping, kabar itu kudapatkan sebelum menaiki kapal ini, melewati pesan yang dibawa burung. Sekarang, menjawab pertanyaan pertamamu itu, pastinya kau masih ingat dengan jenderal setan, Napoleon?”
“Ya, aku ingat tentang dirinya itu.”
“Bagus,” angguk Pak Tua, “karena mereka hancur karena Tricultro. Kau sudah tahu Tricultro itu apa.”
“Tiga belati.”
“Betul.”
“Senjata dari Napoleon.”
“Betul.”
“Pembunuh tiga beruang dalam sekali tusuk.”
“Betul sekali, nak.”
“Tapi,” Rex membantah, “bukankah senjata-senjata mereka sudah musnah?”
“Mungkin berita itu ada benarnya, nak. Tapi dari pihak yang kudengar, Tricultro itu sempat disimpan di dalam istana Al-Bulan itu sendiri.”
“…?”
“Tidak tahu kau kah? Serangan yang terjadi dua bulan yang lalu.”
“Saya tidak berada di Al-Bulan, dua bulan yang lalu, Pak Tua.”
Hmmm, baiklah, Pak Tua itu menarik punggungnya mundur, “Akan panjang bila kuceritakan di sini, anak muda. Tapi Al-Bulan diserang dua bulan yang lalu oleh orang-orang yang memiliki sihir hitam. Dan mereka berhasil menggunakan Putri Rias sebagai tawanan… Tidak, akan lebih cocok bila dikatakan sebagai sekutu.”
“Sekutu?”
“Ya, sekutu. Putri Rias sendirilah yang menghancurkan istana Al-Bulan, dan seluruh kerajaannya. Ia sama sekali tak pandang bulu, sungguh mengerikan. Anak-anak, orang-orang tua, perjaka dan perawan, janda dan duda, semua dihantamnya tanpa melirik dua kali.”
“…Saya rasa itu… Sangat tidak mungkin, Pak Tua.”
Pak Tua itu terdiam.
Memandang jauh ke dalam mata lawannya.
Dan tertawa.
Sekencang-kencangnya.
“Yah, kau ada benarnya, anak muda, terdengar seperti kegilaan kalau aku ucapkan seperti itu, tapi aku minta untuk melihat belakangmu.”
Rex Maximillian mengikuti permintaan Pak Tua itu, dan membalikkan badannya.
Hanya untuk melihat.
Perkataannya itu benar.
Kubah yang semestinya terlihat dari kejauhan, kini sudah sangat dekat. Ujung emasnya itu terlihat—setengah tenggelam di laut yang mereka arungi, dan mercusuar utama Al-Bulan pun belum terlihat.
Dua bulan yang lalu—kubah itu berdiri tangguh di atas ujung kerajaan, merefleksikan cahaya matahari kepada para pendatang, memberitahu bahwa mereka sudah memasuki area kerajaan Al-Bulan, tak lagi ada.
“Terlihatkah, anak muda?”
Sebuah senyum sinis dibentuk oleh Pak Tua, “Kerajaan Al-Bulan sudah tak lagi ada.”
Dari segi manapun kau lihat—hanya reruntuhan dan kekacauan saja di dalamnya.
“Dan,” ucapnya, “semua ini adalah salahmu.”
Salahnya? Aku terheran.
Bukankah ia yang menyelamatkan tanah Reol ini?
Yang membawa cahaya dari gelapnya malam.
Yang membantu orang-orang dari tirani Raja Setan.
Aku terheran.
Begitupun juga dengan Maximillian.
Ia mencoba untuk membalikkan badannya, ingin menghadap kepada Pak Tua itu, namun sepertinya, takdir berbicara lain—sebuah rencana lain.
Melati, yang sedari tadi pasif mendengar, kini tengah menjalankan tugasnya.
Bila saja—Maximillian bergerak terlalu maju sebarang satu jari kelingking, maka matanya akan tercongkel buta.
Karena, sebuah mata disambut oleh mata.
Mata Maximillian dengan mata sabit besar.
Sabit yang digenggam oleh Pak Tua.
Sabit yang ditahan oleh Melati.
Mereka berdua bergerak sangat cepat—tak ada yang menyadari.
Secara tetiba—sebuah pertarungan telah dimulai.
Namun, sebelum penyerangan Melati bagian kedua ini dimulai, ada sebuah pesan yang disampaikan oleh Pak Tua.
“Kau—Rex Maximillian,” ia memanggil, “Aku ingin memperingatkan sebelumnya—bahwa ini adalah sebuah perampokan, dan juga serangan, semua ini demi menghentikan nabi palsu layaknya kau. Karena kau lah kerajaan Al-Bulan runtuh.”
Begitu banyaknya tuduhan.