“Kemanakah kita sekarang, paduka?”
“Kita akan mencari Putri Rias dahulu, baru kita akan kembali ke Al-Bulan.”
“Paduka memiliki cara, kah?”
“Sedang aku pikirkan, Melati, bila kau ada ide, beritahu aku,” Rex Maximillian meminta kepada bawahannya. Ia tengah bersandar di salah satu tembok kapal dengan kepalan tangan menutup bibirnya, mencoba untuk mencari sebuah solusi.
Sedang, di sisi lain, sedikit jauh dari mereka berdua, Eira menemani temannya yang ia temui dua bulan yang lalu.
“Sekarang kondisinya aman,” ucapnya dengan nada yang sedikit dingin layak biasanya.
Farah, sang ibu beranak satu terlihat pucat, tentunya, ia pastinya tak mau berada dalam situasi segenting itu, didekapnya bocah yang bernama Tsabit di dalam pelukannya.
Namun, rasa penasaran memakan hatinya, dan ia pun bertanya.
“Kalian ini… Siapa sebetulnya?”
Melirik kepada pertanyaan itu, Eira berdiam sesaat, mungkin mencoba untuk menyusun jawaban yang tepat.
Dengan nada yang tajam dan tegas, ia berbicara, “Kami ini hanyalah pengembara-pengembara yang bertujuan untuk membersihkan sihir hitam. Tak lebih tak kurang.”
“Lalu—” Farah tak bersabar barang sedetik pun, “lalu betulkah lelaki yang bersamamu itu Rex Maximillian seperti yang orang tua itu katakan?” suaranya putus asa.
Eira mengangguk, “Betul, lelaki yang bersama kami adalah Rex Maximillian.”
“Sang pembawa cahaya…”
“…”
“Sang penyelamat…”
“…”
“Aku harus berterima kasih padanya.”
Farah berlari, meninggalkan putranya bahkan, ia didorong ke arah Eira, dan dengan gesit mengarah kepada lelaki bernama Rex Maximillian. Eira mencoba untuk menghentikan dirinya, tapi tangannya sudah penuh dengan bocah sang perempuan yang baru saja dilemparnya.
“Hoi—tunggu—!”
Sepertinya, ia kira hidupnya akan aman di bawah lindungan sang Pembawa Cahaya sendiri, maklum mungkin karena ia baru saja menjanda tak lama, lagipula, siapa yang tak mau berada dilindungi oleh orang yang jelas telah membunuh orang terkuat di tanah Reol?