Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #27

Aksi Eira

Eira, Melati, Rex Maximillian.

Tiga orang.

Empat, ditambah dengan diriku.

Kini sedang dilanda sebuah permasalahan yang cukup genting.

Di luar, banyak orang yang meminta kepala dari Sang Pembawa Cahaya, dan yang di dalam sedang mencoba untuk mengeluarkan kami bagaimanapun caranya.

Maximillian mengerti apa yang harus dilakukan, dan ia memanggil kedua prajuritnya untuk mengikutinya dari pintu belakang, melalui pekarangan, menuju semak belukar. 

“Ini, ambil, perbekalan untuk kalian, anggap saja sebagai tanda terima kasih dari kita,” istri dari Ahmad, ibu dari Ibu Farah, memberikan sepaket makanan yang dibungkus dengan daun pisang dan diserahkan kepada Melati, yang disegerakan olehnya untuk masuk ke dalam tas lempang yang ia kenakan di bahu.

“Terima kasih, Ibu, tapi sebelum kami pergi, anda tahu di mana lokasi Putri Rias? Kami harus mencarinya.”

“Aku tak tahu—” jawab nenek itu terburu-buru, “yang jelas kalian harus pergi sekarang juga, ini demi keselamatan kalian.”

Dibawa mereka ke tempat pertama kali mereka masuk, pintu belakang yang menuju ke jalan kecil dan dipenuhi banyak pepohonan, setapak turun dari bangunan rumah, Farah berdiri memandang mereka semua.

Telah siap, jalur kedatangan adalah jalur yang akan mereka kembali tempuh, Farah berkata.

“Terima kasih, Rex Maximillian.”

Maximillian memandangnya kembali, dan tersenyum.

“Sama-sama.”

Dan pergilah mereka dengan lari kecil, ke arah pantai tempat mereka pertama mendarat.

Melewati jalan berbatu, ranting liar yang menjulur, dan licin lumut, bergerak dengan cepat memotong udara yang menerpa wajah mereka, satu orang pria dengan rambut hitam pendeknya yang terurai mengikuti angin, dan dua jubah besar dengan tas lempang di badan mereka, muka tertutup, dan kepala terlindungi tudung, salah satu dari mereka membawa sebuah tongkat coklat panjang.

Posisinya kini berubah, dengan Melati di bagian depan, Eira di belakang, dan Rex Maximillian yang berada di tengah, memang terlihat tak elok, untuk seorang lelaki berada di bawah lindungan seorang wanita, tapi ialah seorang raja yang dikawal oleh prajurit-prajuritnya. 

Memang betul, jalur yang mereka lalui itu penuh dengan pohon-pohon liar yang bisa mengganggu perjalanan, tapi mereka sudah melalui jalur ini, sehingga semua halangan itu sudah diantisipasi di perlewatan pertama, hanya sesekali saja sebuah dahan nakal yang mencoba untuk menghadang, tapi segera dipotong oleh tongkat Melati, dipatahkan hingga putus lebih tepatnya.

Nyanyian burung yang juga berlari merasakan keberadaan makhluk yang berjalan begitu cepatnya, dan hewan-hewan kecil lain pun mengikuti agar tak tertabrak, terinjak, atau terlindas oleh mereka. 

Hingga pada akhirnya, mereka sampai di tempat di mana sebuah kapal yang diparkirkan oleh mereka, meskipun sekarang, burung-burung banyak hinggap, memakan pecahan-pecahan daging dan bagian tubuh manusia yang tergeletak di lantai geladak.

Mereka menyanyikan lagu pemanggil, pertanda bahwa ada makanan di tempat mereka berada, dan semakin banyak burung pula yang datang.

Eira bersiap, tangannya dikepal erat, mengumpulkan tenaga untuk mengusir semua burung itu agar mereka bisa segera pergi dari sana.

Namun, tangannya segera digenggam erat, “Jangan,” diikuti dengan perintah dari Maximillian, “kita hanya akan menarik perhatian bila kita melakukan itu.”

Kepalan itu lemas, tapi Eira masih tajam, “Terus apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.

“Lebih baik kita bersembunyi dahulu, dengan begitu kita—”

Ternyata, tak seindah itu pelarian mereka.

Mungkin saja, orang-orang desa itu sudah bersiap-siap akan kedatangan mereka semua.

Karena, dari balik pepohonan, setidaknya dua puluh orang muncul lengkap dengan senjata masing-masing, walaupun beberapa memegang alat-alat pertanian, itu tetap saja senjata.

Sabit-sabit kecil, golok, dan beberapa orang memiliki pedang yang dilingkari oleh jemari mereka semua.

Salah satu dari mereka maju, dan berteriak, “Betul itukah kau!? Rex Maximillian!? Sang Pembawa Cahaya!?”

Maximillian tak diberi waktu untuk menjawab, dan orang itu segera berteriak lagi, “Gara-gara kau! Istri dan anakku mati! Mereka mati karena melawan Napoleon! Kau harus membayar apa yang telah menjadi kesalahanmu itu!”

Memang, tuntunan itu sama sekali tak masuk akal, mereka mati karena Napoleon, salah satu dari jenderal setan, dan ia meminta untuk Maximillian yang menjadi tumbalnya.

Dan tak hanya ia saja, banyak yang menuntut kepadanya, baik itu kehilangan ayah dan atau ibu, kakek dan atau nenek, putri dan atau putra, termasuk paman dan atau bibi, semua bagian dari pohon keluarga disebut tanpa ada yang luput.

Sungguh kondisi yang bodoh.

Tapi inilah yang diperlukan oleh manusia agar jiwa mereka tetap sehat.

Dengan melempar semua kesalahan yang telah dilakukan oleh mereka—kepada orang lain, agar ia tak hancur dari dalam.

Dan ketika semua sudah berapi-api, mereka menyerbu bersamaan.

Berbeda dengan para perampok itu di mana mereka menyerang satu demi satu, dan berbeda dengan prajurit yang berada di kapal yang berdiri menunggu perintah, para orang desa ini menyerang dengan niat untuk membunuh, tidak, dengan niat untuk balas dendam. Mereka tak lagi memikirkan dirinya, hanya dendamnya saja yang berada di dalam akal mereka.

Namun.

Berguncanglah kerak bumi itu dengan hebatnya, banyak dari mereka yang kehilangan keseimbangan dan jatuh, beberapa nyaris dimakan oleh senjatanya sendiri karena salah penempatan.

Semua itu berkat sebuah pukulan ke tanah, sesuatu yang menghantam tanah sebegitu kencangnya hingga gempa terjadi.

Namun, itu bukanlah tongkat coklat tua yang menjadi pelakunya.

Melainkan, kepalan tangan yang memukul keras tanah.

Lalu diikuti dengan perintah.

“Mundur, Melati! Mereka semua milikku!”

Itu bukanlah suara Melati.

Bukan juga suara Maximillian.

Suara itu berasal dari Eira.

Sang jenderal, pemimpin dari laskar Rosanguis.

Tangan itu diangkatnya, lalu ia memulai ritualnya.

Diluruskan kedua tangannya, dengan tangan kiri ke atas, dan yang kanan ke bawah.

Diputar perlahan, yang kiri turun dan yang kanan naik.

Sampai, keduanya menjadi garis lurus dengan kemiringan tiga puluh derajat.

Dihantam. Dihantam dengan kencang kedua buku jari masing-masing tangan, saking kencangnya, seakan terdengar bak bom yang berhasil menghancurkan tembok benteng. 

Komme, Absoschutz!

Cahaya terang meledak dari tinjuan kedua tangannya itu.

Saking terangnya, semua orang disekitarnya sudah tak lagi terlihat.

Dan di tengah semua itu.

Sinar putih menyelimuti Eira.

Yang diikuti dengan sebuah logo mawar merah yang bercahaya di dadanya.

Begitulah, sang jenderal Rosanguis lahir.

Dari jubah coklat yang biasa dipakai para pengemis-pengemis pasar, menjadi baju zirah putih mengkilap.

Tak ada debu, tak ada pasir maupun tanah yang menodai dirinya.

Dan itu tak semua.

Kini—sarung tangan besinya telah berubah. 

Melindungi dari buku-buku jari hingga ujung siku, dan masih memanjang hingga menutupi bahu, dalam arti lain, seluruh lengan terlindungi olehnya. Dihias dengan garis-garis batang pohon mawar lengkap dengan duri-durinya yang biasa terlihat di dekorasi perisai para tentara, karena itu adalah fungsinya.

Sebuah senjata yang mampu dipakai untuk menyerang dan melindungi.

Absoschutz.

Perlindungan Absolut.

Lihat selengkapnya