Banyak yang mengetahui Putri Rias Al-Bulan, dan lebih banyak orang yang tidak mengetahui dirinya, baik sekedar rumor yang bertukar bibir dan kabar angin yang masuk ke kuping, banyak orang melihat dengan pikirannya bahwa Putri Al-Bulan adalah putri baik, elok, baik fisik maupun batin. Namun semua itu hanya sebatas rumor, tak lebih dari kabar burung yang berpindah dari benak ke ke benak lain melalui kata-kata yang diucapkan, yang berakhir dengan manifestasi seorang putri cantik yang mengikuti preferensi orang yang berbeda-beda. Ada yang menggambarkannya sebagai seorang putri yang memiliki kulit putih dan badan ramping, ada juga yang membayangkannya sebagai seorang putri berkulit hitam dengan dada dan juga panggul yang besar, hanya sebatas imajinasi yang mengikuti keinginan para pemikir.
Sehingga, banyak yang mengenalnya sebagai seorang putri yang cantik, hanya sekedar cantik, tak ada lagi informasi maupun penjelasan apa yang membuatnya cantik, sebuah angan-angan yang mengikuti ilusi sang putri.
Hanya orang-orang terdekatnya saja yang mengetahui jelas, seberapa cantik dan siapakah itu gadis yang bernama Putri Rias Al-Bulan, putri dari Tsabit, Raja Al-Bulan.
Salah satunya ialah Rex Maximillian, yang walaupun tak memiliki hubungan khusus, mengetahui dengan jelas, siapakah Putri Rias.
“Melati, Eira, aku minta kalian tinggalkan aku bersamanya untuk sementara,” pinta Maximillian kepada kedua prajuritnya untuk pergi dari tempat itu, “dan jangan lupa untuk membuat pembatas, misalkan saja sihir hitamnya mulai bergejolak.”
Melati mengangguk, begitupun juga dengan Eira, dengan sebuah lompatan, mereka berdua menghilang dari pandangan Maximillian, dan sekarang hanyalah mereka berdua.
Maximillian, seorang pemuda berambut hitam, tengah berhadapan dengan seorang gadis yang dimakan oleh sihir hitam.
Diambilnya sebuah langkah kedepan, memotong jarak diantara mereka berdua, sang putri sama sekali tak bereaksi.
Seakan ia tak lagi aktif—seakan ia sudah mati.
Dari kedua matanya, rumor yang didengar, imajinasi yang dibuat, dan ekspektasi yang telah dibangun, dihancurkan, lalu dibuat kembali.
Namun, dari awal, ia tak berharap banyak mengenai fisik dari Putri Rias sendiri, lagipula, ia sudah memiliki seorang putri di dalam hatinya, tapi ia sendiri masih manusia, seorang pria lebih tepatnya, dan seorang pria pastinya akan tertarik dengan wanita cantik, mau darimanapun ia berasal.
Di dalam pikirannya, seorang gadis yang tinggi, berkulit putih, berambut panjang, dan tentunya berdada yang tak kalah besar, mirip seperti ibundanya yang sempat ia temui dahulu kala, sebelum Raja Tsabit menjadi seorang raja, dan seperti yang orang bilang, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnnya.
Sayangnya, ekspektasi itu—seperti yang kukatakan—hancur.
Hancur sehancur-hancurnya.
Siapa yang pernah kira bahwa Putri Rias adalah bocah kecil dengan postur mungil.
Karena itulah faktanya.
Putri Rias, berbeda dengan apa yang dibayangkannya adalah seorang putri berkulit putih pucat, layaknya mayat, ditambah dengan tatapan kosong yang tak semestinya dimiliki oleh seorang putri, begitupun dengan badannya yang kecil, dari ukurannya saja ia dapat menebak umurnya tak lebih dari tujuh tahun lamanya, bersama dengan sikapnya yang begitu dingin, jauh lebih dingin dari badan orang yang sudah meninggal.
Namun tak itu saja, kondisinya yang begitu merana membuatnya sedih, setidaknya terharu, apa yang telah terjadi kepadamu, Putri Al-Bulan, gumamnya dalam hati.
“Aku ingin sendiri, tuan.”
Gumamnya itu dijawab, tak melewati mulut dan suara, melainkan dengan cara yang sama bagaimana Maximillian menyedihkan penampakannya.
Kembali—Maximillian membuka percakapan.
Apa yang terjadi, Putri?
Yang tak dijawab, dan ditinggal diam.
Namun, ia tak menyerah.
Maximillian dekati sang putri itu.
Dan dicoba olehnya untuk memegang tangannya yang tak tertutupi oleh dahan.
Semestinya dahan baru menutupi—atau bahkan mencoba menyerang benda asing yang menyentuh, tapi ternyata itu tak terjadi, dari tangannya, sesuatu yang dingin, sesuatu yang keras, layaknya dahan pohon yang tumbang dan jatuh ke tanah yang baru terhantam hujan, dinginnya air hujan, dinginnya alam.
Putri, maukah anda berbicara? Beritahu kepadaku, apa yang terjadi.
Sekali lagi—ucapannya itu tak diindahkan.
Seakan—jiwanya sudah tak ada lagi.
Tapi itu tak mungkin, karena sang putri sempat menjawab sekali.
Karenanya, Maximillian tak menyerah.
Putri, dahan ini telah memakan jiwamu, bukan? Dengan begitu, aku bisa berbicara kepadamu tanpa harus bersuara, cukup dengan menyentuhnya kau bisa mendengarkanku, betul?
Keheningan menjawab pertanyaan itu.
Baiklah, Putri, aku akan memberikan kepadamu, sesuatu milikku, aku harap aku bisa mengerti apa yang telah kau alami, tapi agar itu bisa terjadi, kita harus saling mengerti.
Duduk didepannya, Maximillian menutup mata, dan berfokus kepada lengan kanan Putri Rias yang tak terlindungi oleh dahan sihir hitam.
Sebuah cahaya emas berpendar, dari hati ke tangan cahaya itu pergi, dan masuk dari tangan ke lengan, menerangi setiap urat dan pembuluh darah yang dilewatinya, termasuk juga pembuluh darah sang putri. Hingga, pada satu titik, cahaya itu berhenti, dari hati ke hati, sebuah memori, masa lalu yang dimainkan di dalam pikiran sang putri. Apakah itu jiwa? Apakah itu raga? Apakah itu sekedar ingatan? Atau itu pengulangan sejarah? Tak ada yang tahu, namun dengan mata yang terbuka lebar, yang terbakar dengan emosi, yang sedari tadi hanya bergeming letih, tak bergerak memberi jawaban, kini sudah kembali menjadi sosok yang dibanjiri air tangis.
“Ka—ka—” jawabnya tertatih-tatih, namun melalui suara yang berasal dari mulutnya sendiri.
“Ma—maafkan aku,” lanjutnya, dengan air mata yang tetap mengalir.
“Atas—atas kelancangan ayahku. Kamu tak semestinya—”
“Tak apa, Putri, setiap orang memiliki lukanya masing-masing, yang bisa kita laksanakan hanyalah saling berbagi dan membantu,” ucap Rex Maximillian, “karena sekarang Putri sudah mengerti diriku, maukah Putri berbagi denganku? Apapun itu yang berada di dalam hati Putri, yang selalu membuat Putri tidak nyaman diri sendiri, bersediakah?”
“Aku—bersedia.”
Putri Rias Al-Bulan, seorang putri berbadan kecil, dan terbanjir air tangis, dalam hitungan menit—ingin membuka dirinya.
Untuk menjadi diri yang lebih baik.
Untuk menerima dirinya sendiri.
§
“Aku kira—terkadang ayah itu terlalu ketat kepada anak buahnya.”
“Mm?” Maximillian memiringkan kepala dan menatap Putri Rias yang tengah berbicara di sebelahnya.
“Ya, kadang aku pikir tindakannya terlalu keras, sering aku dengar dari para pelayan kalau ayah itu seringkali main sesuai keinginannya, kalau ada orang yang tak menyukainya, maka ia akan hilang keesokan harinya.”
“Jadi ayahmu itu otoriter, kalau orang-orang bilang.”
“Iya,” Putri Rias mengangguk, “sampai-sampai Tiara takut kepadaku.”
“Tiara?”
“Tiara itu temanku dari kecil, anak dari Zahra, pelayan perempuan yang katanya dulu melayani Ibu. Dia sedikit lebih tua, setahun lebih tua bedanya. Dulu, kemanapun aku pergi, pasti selalu ada Tiara yang menemani, mau itu main di taman, main di halaman, main di aula, dimanapun, kapanpun.”
“Terus apa yang terjadi?”
“Tiara diminta untuk menikah oleh ayahnya, Jenderal Asad, panglima perang Al-Bulan, dengan salah satu anak jenderal lainnya, hubungan ketat antar prajurit dan juga teman lama—katanya. Semenjak hari dia dipinang, aku sudah tak pernah melihatnya lagi, kudengar dari Zahra, katanya ia tinggal bersama suaminya itu di Deus. Mengembara jauh, setidaknya dia tidak di daerah terpencil, banyak potensi yang bisa mereka garap di sana.”
“Memangnya suami Tiara itu bukanlah seorang prajurit?”
“Dia seorang prajurit, hanya saja ia tak menjadi seorang prajurit Al-Bulan.”
“Maksudmu?”
“Dia mengabdi kepada Deus, aku tahu hal ini karena ayahnya sendiri yang memintanya, sebagai seorang mata-mata, kurang lebih, atau penjembatan bila ada sesuatu yang terjadi, apapun itu, sekitar dua tahun yang lalu Tiara dan suaminya itu sudah pindah ke sana.”
“Tunggu sebentar, umurmu berapa, Putri?”
“Dua belas,” Putri Rias menjawab dengan kata dan juga jari-jemarinya yang diluruskan, jari telunjuk di tangan kanan, dan jari telunjuk beserta tengah di kiri, menandakan angka dua belas.
“Berarti Tiara itu tiga belas yah.”
“Iya.”
“…”
“…”
“Tuan tak merasa janggal kah?”
“Janggal?” kepalanya dimiringkan heran, “janggal darimana?”
“Tiara sudah menikah di umur tiga belas, dan aku berumur dua belas, bukankah itu berarti sebentar lagi aku akan dinikahkan?”
“O—oh, itu maksudmu,” sepertinya Maximillian tidak menyangka itu akan dibawa menjadi topik pembicaraan, tapi berhubung mereka berbicara mengenai pernikahan, sudah seharusnya ini akan menjadi jalur pembicaraan.
“Menurutmu bagaimana, Tuan? Apakah aku dapat menjadi orang yang bisa menerima pernikahan begitu cepatnya? Aku rasa baru kemarin saja aku bermain dengan Tiara di lapangan. Tapi sepertinya waktu itu telah lewat.”