“Kemanakah sekarang kita, Tuan?”
“Kita akan kembali ke Al-Bulan, Putri, ada sesuatu di sana yang harus kita selesaikan.”
“Mengapa Al-Bulan?”
“Semenjak kehancurannya, banyak orang yang ingin mendapatkan sedikit kekayaan, penjarahan, kurang lebih, dan kita harus menghentikannya. Mungkinkah kamu keberatan, Putri?”
“Sedikit—tapi asalkan ada Tuan, saya merasakan sedikit lebih nyaman.”
Ia tersenyum, begitupun juga dengan Maximillian yang membalas senyum, “Baiklah, Ke Al-Bulan tujuan kita selanjutnya.”
“Laksanakan, Paduka,” Melati merespon.
Dengan begitu, layar terbuka dan terdorong angin, mereka pun maju sekali lagi, menuju sebuah tempat yang semestinya mereka datangi, hanya saja terdapat orang baru yang mengikuti, seorang yang tak begitu tinggi, dan tak begitu muda, umurnya hanya dua belas tahun lamanya. Seseorang yang kehilangan kemanusiaannya, tapi berkat Sang Pembawa Cahaya, ia kembali menemukannya, sebuah alasan, sebuah panutan dan juga tempat untuk bersandar.
Dengan sebuah senyuman—Putri Rias menyambut awan putih.
Sebuah harapan yang hangat.
Sebuah kebohongan yang direncanakan.
“Jadi, bagaimana rencananya, Paduka?” Melati menemani Maximillian yang tengah berada di geladak depan.
Melirik, Maximillian melihat seorang laskar yang berdiri dengan zirah putih lengkapnya, “Seperti yang kita rencanakan, Melati, kau sudah tahu kan apa yang harus kita lakukan?”
“Kurang lebih, Paduka, tapi hamba memohon agar perintah itu diulang kembali, semacam gladi resik, kalau bisa dibilang, agar nanti jelas dan tak ada kesalahan.”
“Baiklah,” mengikuti itu, Maximillian mulai mengulas kembali, “sesampainya di sana, kita akan langsung ke istana, dan kita langsung mengecek apakah betul—Raja Tsabit masih ada di sana. Bilamana betul, kita akan langsung melaksanakan rencana A, dan kalau tidak ada, maka rencana B, kita langsung kembali ke Deus.”
“Dimengerti, Paduka,” sahut Melati, mengonfirmasi perencanaan.
“Melati,” panggil Maximillian sekali lagi, “bagaimana dengan Eira?”
“Lukanya sedang proses pemulihan, sudah hamba berikan penenang agar ia dapat istirahat.”
“Bagus,” hela Maximillian, suaranya terdengar tenang, “kalau begitu kita bisa melaksanakan rencana dengan tenang.”
“Kalau diberi kesempatan, Paduka, amankah untuk kita meninggalkan Jenderal seorang diri? Bagaimana jadinya misalkan ada orang-orang tak diundang yang menemukannya di dalam kapal ini—dan siapa yang tahu apa yang terjadi kepadanya bila itu terjadi.”
“Tenang saja, Eira tak semudah itu untuk diambil, lagipula, kita akan selesai sebelum ia dapat membuka matanya.”
“Bila Paduka berkata seperti itu, maka hamba merasa lebih percaya diri.”
“Bukankah semestinya seperti itu, Melati? Berarti kau tak mempercayai diriku.”
“Bukan begitu, Paduka, maksud hamba ialah—”
“Ialah?” hadang Maximillian, “Apakah ini pertanda pengkhianatan, Melati?” tanyanya dengan mata yang mulai membara.
Ia berubah—dari sosok yang hangat dengan sebuah senyuman, kini menjadi sosok dengan tatapan yang tajam, dan juga dingin.
Melati mencoba untuk tak melihatnya, dibuang pandangan itu ke lantai, tapi Maximillian tak menerima itu.
Dengan tangan kiri ia menggenggam jalur angin Melati dan diangkatnya hingga kaki tak lagi menyentuh tanah, ia cekik perempuan berzirah itu hingga urat-urat tercetak di leher, “Jawab aku, Melati, apa maksud dari perkataanmu itu tadi?”
“Ha—ha—” mulutnya dicoba untuk membuka, tapi hanya patahan kata yang berhasil keluar, pastinya rasa sakit juga mempengaruhi pikirannya saat ia mencoba untuk membentuk kalimat yang tepat, agar jawaban yang diberikannya itu tepat, tapi apa yang terjadi, tak lebih dari patahan saja, dan mungkin saja lehernya, yang tak lama lagi akan patah bila Melati tidak menjawab.
Dicoba sekali lagi olehnya, patahan suara-suara yang terdengar seperti awal kata, “Co—” dan “Te—” lalu “Ma—” adalah potongan yang keluar dari bibir, tapi terdengar begitu sayup, tak ada kekuatan di dalamnya, misalkan saja ombak-ombak itu bisa dihentikan untuk sesaat, pastinya omongan Melati akan terdengar lebih jelas, walau aku pesimis Maximillian akan mengerti apa yang ia katakan.
“Kau ingin mengujiku, dan kau ingin meminta maaf karena kau merasa lancang karena telah mengujiku, dan sekarang kau mengerang kesakitan karena tindakanmu itu, betul Melati?” Tapi sepertinya Maximillian mengerti apa yang diniatkan oleh anak buahnya itu, “Kau tak perlu mencoba begitu susahnya, aku dapat membaca pikiranmu, begitu juga dengan perasaanmu, dan segala hal yang tengah kau pikirkan. Aku tahu kau tak menyangka bahwa Putri Rias akan seperti itu, aku jujur, aku pun juga, tapi aku rasa tak tempatnya untuk kau mengatakan bahwa perempuan sepertinya tak cocok untuk menjadi seorang Rosanguis, kau salah, sangat salah Melati, misalkan saja aku tak menahan amarahku, kau sudah kumusnahkan semenjak aku tengah berbicara dengan Putri Rias,” dengan genggaman yang semakin kencang, Maximillian mengingatkan, “kuingatkan sekali lagi, Melati, jangan sekali-kali kau remehkan saudara seperanganmu, bila kau seperti itu, aku tak akan berpikir dua kali untuk menghabisimu, aku lebih baik memiliki prajurit yang setia dan rendah hati dibandingkan kau yang sombong dan merasa lebih baik dari yang lain, mengerti?”
Ia lepas prajurit yang mengudara itu hingga kedua lutut mendarat pertama kali ke atas lantai kayu, kedua tangan yang tadi sudah lemas kembali kuat, dan Melati, dengan kedua tangannya, mengalungi leher, lalu mengalusnya, dan ia mencoba bernapas kembali normal yang tadinya tersengal-sengal. Matanya terbuka lebar dan pikirannya kembali sehat, setidaknya ia sekarang dapat berkata “Maafkan—maafkan—maafkan,” yang ia ulang berkali-kali bersamaan dengan helaan udara yang dilepaskannya.
“Satu lagi, Melati,” lontar Maximillian dengan nada yang begitu dingin Melati terhentak ketika mendengar ucapannya, “mulai sekarang, kamu akan memanggil dirimu dengan sebutan hamba, baik itu kepada Putri Rias, maupun Eira, mengerti? Aku sudah muak melihatmu bersikap begitu tinggi hati di depan Eira,” sinis Maximillian, yang tengah berdiri, dan memandang prajurit itu yang sudah mati setengah badan tadi, pandangan dingin, dan sadis, seakan ia melihat sosok yang telah melukai hidupnya.
“Ha—hamba mengerti, Paduka,” Melati berbicara dalam nada menderita, “hamba meminta maaf—atas kelancangan hamba…”
“Sekarang, kau kuperintahkan untuk diam—dan tak berbicara hingga rencana kita selesai, dan pakai topengmu itu, aku tak mau melihat mukamu.”
Melati mengangguk, menyetujui, menerima nasib yang baru saja diberikan kepadanya.
Tapi.
Tapi ia ditendang di perut hingga berguling sekali mundur, “Aku tak mendengar jawabanmu, Melati, dan aku tak ingat bahwa kau itu bisu.”
Tempat yang terluka itu ditahan, sebelumnya leher, kini perut, meskipun ia terlindungi zirah, tapi sepertinya plat besi itu tak melindunginya sama sekali, buktinya saja, Melati, dalam posisi merangkak, memuntahkan cairan merah dari mulutnya.
“Segitu lemahnya tendanganku, dan kau sudah muntah-muntah, kukira prajuritku tak selemah ini,” ucap Maximillian sembari mendekati orang yang terluka itu, “ataukah aku harus melakukan hal lain?”
Sebuah belati, belati dingin dan tajam ditujukan kepada rahang Melati, jaraknya tak jauh, sangat dekat, sedikit gerakan dan sobeklah bagian bawah mulutnya itu, “Inilah alasan mengapa aku memerintahkanmu untuk tak pernah melepas topengmu, Melati, masa segitu saja kau tak mengerti? Atau kau ingin aku sobek bagian rahang bawahmu dahulu sehingga kau mengerti? Maukah begitu, Melati?”