Sang Penipu & Pembohong

Hairo Amarini
Chapter #32

Aku Muak, Aku Lelah, Aku Ingin Pergi, dan Tak Pernah Kembali.

Belati itu jatuh ke lantai, dan dirinya dari atas lantai, cukup tinggi hingga kakinya masih dapat lurus, namun tak cukup untuk menapak turun. 

“Kau semestinya berpikir lagi, Maximillian, apakah kau betul cocok atas tahta itu, dan juga sebegitu banyak pujian dan nama panggilan, sedang kau tahu sendiri siapa saja yang membuat semua itu kenyataan, kau adalah seorang pengkhianat, dan juga seorang pembohong, sudah semestinya kau mati, begitu juga dengan semua ilusi-ilusi manismu itu, sudah terlalu jauh kau bermain, kau hanya akan menjadi Raja Setan berikutnya.”

“A—aku, aku—berjuang—demi apa yang kulihat—betul.”

“Betul?” ia bertanya, dan Maximillian pun tertambah sengal, tekanan di lehernya dikuatkan, “Kau sebut semua perbuatanmu itu ‘betul?’ Misalkan saja Raja Setan masih hidup ia akan tertawa mendengar jawabanmu itu.”

“Ta—pi, tapi ia sudah mati—bukan?”

“Memang, memang, kau tak salah, ia memang sudah mati, tapi kau tahu sendiri, ia tak pernah mati.”

“Kare—na, itu, aku melawan.”

“Ya,” lawan bicaranya itu setuju, “dan kau akan mati karenanya.”

Tapi, sebelum itu.

“Dimanakah ia, Maximillian?”

“Dia sudah—mati—” tersedak tiba-tiba, sang pencekik itu tak senang. “Berarti dia ada di sini, aku sudah mengetahui siapa dirimu itu, Maximillian, jadi beritahu aku, dimanakah dia?”

“Mengapa kau tak tanyakan ayah tercintamu itu? Oh ya, aku lupa, ia sudah sirna.”

Brak!

“Sudah kubilang, Maximillian, jangan kau coba-coba diriku, kau tahu benar apa yang dapat kulakukan kepadamu bila aku menghendaki, dan aku memilih untuk tak melakukan itu—”

“Heh!” Maximillian terkekeh meski mukanya sudah mencium lantai dan ditahan oleh kaki sang pencekik, “Itulah mengapa kau tak akan bisa menjadi sepertinya, kau terlalu takut.”

Krek!

Tengkoraknya mulai retak, entah bagian mana, yang jelas darah mulai mengucur darinya, “Baiklah kalau begitu.”

Putri Rias Al-Bulan!

“Kuberi kau waktu sepuluh detik untuk menunjukkan dirimu, bila kau tak bisa, maka akan kuhancurkan kepala dari lelaki ini.”

Sepuluh!

Sembilan!

Delapan!

Tujuh!

Enam!

Lima!

Empat!

Tiga!

Dua…

Dan tak ada hitungan lain.

Karena, berdiri dibelakangnya ialah sang Putri sendiri.

Sangat dekat, nyaris bersentuhan, dada ke punggung.

Sebuah rencana mungkin.

Entahlah apa yang dipikirkan oleh sang putri waktu itu.

Mungkin, ia akan melingkari badan sang penginjak dan menariknya mundur agar Maximillian bisa bebas, atau ia akan melanggarnya dengan bahu agar ia jatuh dan Maximillian bisa bebas, tapi tidak, semua itu tak dilakukannya, ia hanya datang, mendekati sang penginjak itu dari belakang, dan menundukkan kepalanya.

“Saya meminta kepada anda, Tuan, mohon lepaskan Tuan Maximillian, ia sangatlah berharga kepada saya, tanpanya saya pastinya tak akan berada di sini, jadi saya memohon, Tuan, mohon lepaskan Tuan Maximillian…”

Ia mendengarnya, tak mungkin ia tak mendengarnya, dan ia menjawab, “Kau memenuhi permintaanku, Putri Rias Al-Bulan,” dengan kaki yang masih menginjak kepala Maximillian, “Aku hargai itu, kau adalah sosok yang berani bahkan untuk menunjukkan dirimu seorang diri, meski kau melihat bahwa tak mungkin kau tak akan menang, dan aku akan berkata itu, Putri Rias Al-Bulan, aku tak bisa melepaskan Maximillian.”

“Mengapa tak bisa, Tuan!?” Putri Rias menjerit, “Dosa apakah yang ditanggung oleh Tuan Maximillian!? Justru semestinya sayalah yang dihukum, saya yang menghancurkan semua ini, sayalah yang membunuh, sayalah yang menghancurkan semua ini!”

“Aku disini bukan untukmu, Putri Rias Al-Bulan, aku kesini karena aku memburu orang keparat yang bernama Rex Maximillian, ialah alasan mengapa aku masih ada disini.”

“Memangnya alasan itu apa, Tuan!?”

“Karena orang ini telah membunuh dan juga mencuri.”

Lihat selengkapnya