Kesunyian pagi di Pesantren Al-Hikmah pecah ketika teriakan panik terdengar dari asrama santri. Nur, yang baru saja memulai paginya dengan meditasi dan refleksi, segera bergegas ke sumber kegaduhan. Di sana, dia menemukan kerumunan santri yang cemas mengelilingi dua pelaku bullying lain, keduanya tergeletak tak sadarkan diri dengan luka yang tampak serius.
Para santri yang menemukan mereka mengatakan bahwa tidak ada saksi mata kejadian tersebut, mirip dengan insiden sebelumnya. Nur merasakan dingin di tulang belakangnya, menyadari bahwa pola serangan balasan ini mulai terbentuk, seolah-olah pelaku bullying mendapat hukuman dari tangan tak terlihat.
Sambil membantu mengatur pertolongan medis bagi yang terluka, Nur memerhatikan ekspresi takut dan bingung di wajah para santri. Berita tentang 'pembalasan misterius' ini cepat menyebar, meningkatkan ketegangan dan ketakutan di antara santri dan staf pengajar.
Nur memutuskan bahwa dia tidak bisa lagi hanya menjadi pengamat pasif dalam kejadian-kejadian ini. Dia mengumpulkan pengajar senior dan beberapa santri yang dianggap sebagai pemimpin di kalangan mereka untuk mendiskusikan kejadian-kejadian terbaru dan merumuskan rencana tindakan.
"Kita harus mencari tahu siapa atau apa yang bertanggung jawab atas ini," kata Nur dengan tegas dalam pertemuan tersebut. "Kita tidak bisa membiarkan ketakutan dan kekerasan ini menjadi bagian dari kehidupan kita di pesantren."
Diskusi itu berlangsung intens, dengan beberapa mengusulkan pengawasan malam dan peningkatan keamanan, sementara yang lain menyuarakan kebutuhan untuk memahami dan menyelesaikan masalah mendasar yang menyebabkan perilaku bullying dan balasan misterius.
Dengan semakin banyaknya insiden, Nur merasa tekanan untuk segera mengungkap misteri tersebut. Malam itu, dia menghabiskan waktu lebih lama di perpustakaan, menelusuri catatan lama dan buku harian yang dia temukan, mencari tautan atau petunjuk tambahan yang mungkin dia lewatkan.
Di saat dia tenggelam dalam buku dan catatan, sebuah detail menarik perhatiannya. Catatan di buku harian tersebut menyebutkan sebuah ruangan di bawah tanah di pesantren, tempat di mana santri yang mengalami tragedi dahulu sering menghabiskan waktunya. Ruangan itu, menurut catatan, adalah tempat yang dia anggap sebagai perlindungan dari kekerasan dan kesepian yang dia alami.
Tanpa membuang waktu, Nur berangkat untuk menemukan ruangan bawah tanah tersebut, membawa senter dan alat tulis untuk mencatat temuannya. Pesantren yang biasanya ramai dan hidup, kini terasa sunyi dan menyeramkan di bawah remang-remang cahaya bulan.
Setelah mencari dan bertanya-tanya, akhirnya Nur menemukan pintu tersembunyi yang mengarah ke ruangan bawah tanah di salah satu sudut pesantren yang jarang dikunjungi. Hatinya berdebar saat dia perlahan membuka pintu dan turun ke dalam, senter di tangan menyinari jalan setapak yang dilapisi debu tebal dan sarang laba-laba.