Dengan tekad yang menguat dalam hati, Nur mengikuti cahaya samar yang membawanya lebih dalam ke dalam kompleks pesantren. Dengan setiap langkah, rasa ingin tahunya bertambah, mendorongnya melalui kegelapan. Cahaya itu, seolah memiliki kehendak sendiri, memandu Nur ke bagian pesantren yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kuno berdiri, menyimpan cerita dari masa lalu.
Sebelum menjadi pengajar di Pesantren Al-Hikmah, Nur memiliki latar belakang dalam psikologi dan penelitian. Keahliannya ini, yang belum pernah dia ungkapkan di pesantren, kini menjadi sangat berharga. Dengan hati-hati, dia mengamati setiap detail, mencatat perubahan dalam pola atau anomali yang bisa memberikan petunjuk tentang fenomena misterius yang sedang dia hadapi.
Cahaya itu akhirnya berhenti di depan pintu tua yang terbuat dari kayu yang sudah lapuk oleh waktu. Nur menarik napas dalam, mengumpulkan keberaniannya sebelum mendorong pintu perlahan. Di dalam, dia menemukan ruangan yang penuh dengan barang-barang lama dan lembaran-lembaran catatan yang berserakan. Cahaya itu menghilang, meninggalkan Nur bersama dengan debu dan kenangan yang lama terkubur.
Dengan senter di tangan satu dan buku catatan di tangan lainnya, Nur mulai menyusuri ruangan itu, memeriksa setiap benda dan lembaran kertas dengan teliti. Keahliannya dalam memahami perilaku manusia dan mencari tahu motif di balik tindakan mereka membantu Nur menyusun teka-teki dari potongan-potongan informasi yang dia temukan.
Dalam redupnya cahaya lampu senter, Nur membuka laci yang reyot itu dengan perlahan, menghindari derit yang bisa memecah kesunyian malam. Tangan-tangannya menemukan tumpukan surat-surat dan foto-foto yang usang, tergeletak tak terurus, menunggu untuk dibaca dan dipahami. Surat-surat itu, kuning dan rapuh di tepinya, tampaknya menjadi jendela masa lalu, menghubungkan Nur dengan dunia yang telah lama hilang.
Dia duduk di lantai, menyebarkan surat-surat dan foto-foto di depannya. Foto-foto itu, meski pudar, menampilkan wajah-wajah muda, termasuk santri yang wajahnya kini begitu familiar bagi Nur. Dalam beberapa foto, santri tersebut tersenyum, tapi matanya menyimpan kedalaman kesedihan yang tidak bisa disembunyikan.
Nur mulai membaca surat-surat itu, setiap kata meresap ke dalam hatinya. Surat-surat tersebut ditulis oleh santri tersebut kepada orang tuanya, menggambarkan kehidupan sehari-hari di pesantren, namun seiring waktu, nada suratnya berubah. Awalnya penuh dengan harapan dan antusiasme, tapi perlahan berubah menjadi cerminan dari keputusasaan dan isolasi.
Dalam surat-surat tersebut, santri itu menceritakan tentang kesulitannya beradaptasi, tentang perasaan ditinggalkan dan tidak dimengerti oleh teman-temannya, bahkan oleh beberapa pengajar. Dia berbicara tentang perjuangannya untuk menemukan tempatnya di pesantren, di mana ia seharusnya merasa aman dan diterima.
"Setiap hari menjadi lebih berat daripada yang sebelumnya," tulisnya dalam salah satu surat. "Aku merasa seperti bayangan, tak terlihat dan tidak penting. Aku mencoba untuk belajar, untuk berdoa, mencari kedamaian, tapi kesendirian ini, rasa sakit dari kata-kata yang tidak diucapkan, itu menghantui aku."
Surat-surat itu juga menyentuh kejadian-kejadian aneh yang dia alami: suara-suara di malam hari yang tidak bisa dijelaskan, bayangan yang bergerak di ujung penglihatan, sentuhan yang dingin di tengah keheningan. Nur menangkap ketakutan dan kebingungan yang dirasakan santri itu, yang meningkat dengan setiap peristiwa aneh yang terjadi.