Nur bangun pagi itu dengan tekad yang membara, didorong oleh bisikan malam yang masih terngiang di telinganya. Dengan mata yang dipenuhi keberanian baru, dia memutuskan untuk menyelami lebih dalam lagi sejarah Pesantren Al-Hikmah, terutama mengenai pembunuhan misterius yang terjadi beberapa dekade yang lalu, sebuah kasus yang belum pernah benar-benar terpecahkan dan mungkin memiliki keterkaitan dengan kejadian yang terjadi saat ini.
Dengan aksesnya ke arsip pesantren, Nur mulai menggali kasus lama tersebut, memulai pencarian yang penuh dedikasi untuk menemukan bukti atau keterangan yang mungkin terlewatkan. Dia menghabiskan jam-jam berikutnya dengan meneliti laporan polisi lama, artikel koran, dan catatan pengadilan, mencari setiap petunjuk yang bisa menghubungkan masa lalu dengan serangkaian kejadian misterius yang kini menghantui pesantren.
Di antara debu dan lupa, Nur menemukan sebuah berkas yang tampaknya tidak banyak mendapat perhatian saat penyelidikan dilakukan. Berkas itu berisi catatan wawancara dengan saksi yang kala itu masih muda, seorang santri yang mengaku melihat sosok yang tidak dikenal di dekat tempat kejadian pembunuhan tersebut. Saksi itu, yang sudah lama meninggalkan pesantren, mungkin memiliki kunci untuk membuka misteri yang telah lama tersegel.
Dengan petunjuk baru di tangan, Nur berangkat untuk menemui mantan santri tersebut, yang kini menjadi seorang pria paruh baya bernama Arif. Pertemuan mereka terjadi di rumah sederhana Arif, di mana Nur disambut dengan kehangatan dan sedikit kecurigaan.
Selama pembicaraan mereka, Arif mulai membuka tentang masa lalunya di pesantren, tentang malam pembunuhan tersebut, dan tentang sosok yang ia lihat. “Saya tidak pernah melupakan wajah itu, meski sudah bertahun-tahun berlalu,” ungkap Arif, matanya tampak terawang ke masa lalu. “Sosok itu tinggi, kurus, dengan mata yang menatap kosong, seolah-olah memandang melalui saya, memandang ke dalam jiwa saya.”
Detail yang diberikan Arif menambahkan potongan penting pada puzzle yang sedang disusun Nur. Mereka berdiskusi panjang, mencoba memadukan kenangan Arif dengan informasi yang telah dikumpulkan Nur. Dari pembicaraan itu, Nur semakin yakin bahwa pembunuhan misterius di masa lalu dan fenomena aneh yang terjadi saat ini tidak hanya terhubung melalui kebetulan, tetapi juga melalui sebuah benang merah emosi dan trauma yang belum terselesaikan.
Kembali ke pesantren, Nur merasa seolah-olah dia sedang berlomba dengan waktu, mencoba menyatukan setiap bukti sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi. Dia menghabiskan malam-malam berikutnya dengan membandingkan catatan lama, laporan saksi mata, dan cerita-cerita dari santri serta pengajar, mencari pola atau koneksi yang bisa menjelaskan kejadian misterius yang terus berlangsung.
Nur duduk di meja kerjanya yang dipenuhi dengan catatan-catatan dan dokumen lama, lampu meja yang redup menyinari wajahnya yang serius dan fokus. Lembaran demi lembaran, dia menyelami masa lalu pesantren, mencari tahu lebih banyak tentang santri yang hampir terlupakan ini, Imran.
Catatan pinggir yang dia temukan tersembunyi di antara halaman-halaman buku catatan lama menyinggung tentang hilangnya Imran, hanya beberapa minggu sebelum tragedi yang merenggut nyawa Hamzah.
Memegang catatan itu, Nur merasakan seolah-olah dia memegang sebuah potongan puzzle yang sangat penting. Keberadaan Imran, dan hubungannya yang erat dengan Hamzah, mungkin adalah kunci untuk memahami rangkaian peristiwa yang telah menyebabkan tragedi dan fenomena misterius yang terjadi di pesantren.
Nur menghabiskan hari-hari berikutnya dengan berbicara kepada alumni lama, menelusuri arsip, dan membaca ulang catatan lama, mencari segala informasi tentang Imran. Dari surat-surat yang dia temukan, sebuah narasi mulai terbentuk; Imran dan Hamzah tampaknya lebih dari sekadar teman, mereka berbagi ikatan yang mendalam, mungkin terjalin melalui perjuangan bersama atau pemahaman bersama terhadap kesulitan yang mereka hadapi di pesantren.
Surat-surat antara Imran dan Hamzah mengungkapkan perasaan mereka, dengan kata-kata yang menunjukkan keintiman dan kepercayaan, namun juga rasa takut dan kekhawatiran terhadap tekanan yang meningkat dari kelompok tertentu di dalam pesantren. Dalam garis-garis tulisan tangan mereka, Nur merasakan getaran emosi yang mentah dan nyata; kegembiraan saat berbagi kecil kesuksesan, dukungan dalam masa sulit, dan rasa putus asa saat menghadapi ancaman dan manipulasi.
Pada satu titik, surat-surat menjadi semakin sporadis dan tegang, dengan Imran menyatakan kekhawatirannya tentang menjadi sasaran karena perlawanannya terhadap norma-norma tertentu yang diterapkan oleh kelompok berpengaruh di pesantren. Hamzah, dari surat-suratnya, tampaknya berusaha mendukung Imran, meskipun dengan rasa takut yang terus meningkat tentang keselamatan kedua belah pihak.
Dalam surat terakhir yang ditemukan Nur, tertanggal hanya beberapa hari sebelum Imran menghilang, terdapat rasa keputusasaan yang mendalam. Imran menulis tentang perasaannya terjebak dan khawatir tentang masa depannya di pesantren, dengan menyebutkan bahwa dia mungkin perlu mengambil tindakan drastis untuk melarikan diri dari situasi yang semakin tidak tertahankan.