Nur duduk di ruangan yang sunyi, lampu meja satu-satunya yang menyinari tumpukan dokumen di depannya. Setelah hari-hari penuh penyelidikan, dia merasa berada di ambang penemuan besar. Lembaran demi lembaran dokumen di sekitarnya berbicara tentang konflik, rahasia, dan ambisi yang telah merasuki Pesantren Al-Hikmah selama bertahun-tahun.
Dengan detil yang hampir obsesif, Nur memeriksa kembali bukti yang dia kumpulkan. Rizal, duduk di seberang meja, mengamati dengan mata yang lelah namun waspada. Di antara mereka terbentang laporan kejadian, catatan pertemuan, dan korespondensi yang sebelumnya tersembunyi dari pandangan umum.
“Kita hampir berhasil, Rizal,” kata Nur, menunjuk pada satu set surat yang tertata rapi di hadapannya. “Ini adalah kunci untuk memahami siapa di balik semua ini.”
Surat-surat itu, ditemukan di antara barang-barang pribadi Pak Harun yang sudah almarhum, mengungkapkan hubungan yang mendalam dan kompleks antara dia dan beberapa staf senior lainnya. Dalam garis-garis tulisan yang tergesa-gesa, tersembunyi rasa urgensi dan ketakutan.
“Lihat ini,” lanjut Nur, memperlihatkan selembar surat kepada Rizal. “Pak Harun menulis tentang perencanaan sesuatu yang besar, sebuah aksi yang akan ‘membalikkan keadaan’ di pesantren. Dia menyebutkan Pak Surya dan Pak Adi beberapa kali.”
Rizal membungkuk lebih dekat, membaca kata-kata yang tercetak di kertas itu. “Ini lebih dari sekadar ketidakpuasan atau nostalgia terhadap masa lalu. Mereka merencanakan sesuatu yang konkret, Nur.”